Tuli, Bisu, dan Buta Dalam Narasi Al-Qur’an

Republik ini tiada henti menjadi ruang turbulensi dan akrobatik yang menarik bagi para pebisnis di pasar gelap kedunguan; bersebab ketidakmampuan mereka dalam menawarkan narasi, gagasan autentik, dan argumentasi tentang masa depan bangsa. Para pebisnis pasar gelap tersebut berebut titik dan momentum yang sama : eksploitasi emosi massa yang sedang mengalami disfungsi intelektual-spiritual akut. Wallahul Musta’an.

Semoga sajian berikut ini meninggalkan jejak pencerahan di ruang qalbu dan akal sehat kita semua. selamat menyimak!.

Tuli, Bisu, dan Buta Dalam Narasi Al-Qur’an

 

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali ke jalan yang benar.” (QS Al-Baqarah/2 : 18)

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ

“Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.” (QS Al-Baqarah/2: 117)

Salah satu dari kedua ayat di atas berhubungan erat dengan kaum munafiqin dan yang lain berhubungan erat dengan orang-orang kafir. Meskipun kedua ayat tersebut nampaknya sama, tetapi di sana terdapat perbedaan antara orang-orang munafik dengan orang-orang kafir di dalam sikap mereka terhadap Islam. Yang satu bersikap pura-pura terhadap Islam dan kaum muslimin, sedang yang lain bersikap menentang terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena itu, sifat masing-masing disebutkan sebagai orang-orang yang tuli, bisu, dan buta. Akan tetapi, sebab-sebab di antara kedua golongan itu sangat berbeda menurut ayat di atas. Dalam ayat yang pertama disebutkan mereka tidak mau kembali kepada fitrah yang asli yang terdahulu. Adapun sebab yang disebutkan dalam ayat yang kedua, mereka tidak menggunakan akal mereka yang sehat.

Meskipun berbeda penyebab, namun akibat yang ditimbulkan sama; menjadikan diri mereka tuli, bisu, dan buta. Mereka pun tidak dapat mengikuti jalan petunjuk sedikit pun yang ada di hadapan mereka. Jika mereka mau menggunakan akal mereka sedikit saja, pasti mereka akan menjadi orang-orang yang beriman. Mereka akan mengucapkan kalimat syahadat setelah mereka menggunakan akal mereka yang sehat dan mereka kembali kepada fitrah mereka yang asli. Kehidupan mereka pun akan disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Mereka akan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Akan tetapi, karena mereka tuli, mereka tidak dapat mendengar suara petunjuk. Mereka juga tidak dapat bertasbih dengan lisan mereka untuk mengagungkan Allah. Selain itu, mereka bisu, sehingga tidak dapat mengucapkan apa yang ada di kalbu mereka yang paling dalam. Mereka menjadi buta, karena tidak mampu melihat jalan yang lurus yang ada di hadapan mereka tentang wujud Allah Yang Maha Esa.

Sebagai kesimpulan, kami lihat bahwa Allah mensifati orang-orang kafir sebagai orang-orang yang tidak menggunakan akal sehat mereka untuk memerhatikan cahaya keislaman. Jika mereka mau menggunakan sedikit akal sehat, pasti kalbu mereka akan terbuka untuk masuk Islam. Buktinya, ada sebagian orangorang kafir yang menentang dan menyakiti pribadi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya ketika di Mekkah selama beberapa tahun, mereka berubah pemikirannya terhadap Islam setelah mereka menyaksikan perjanjian Hudaibiyah. Mereka tidak mau lagi bersifat kaku dan keras terhadap Islam dan para pengikutnya. Mereka merasa bersalah besar terhadap Islam dan para pengikutnya. Karena itu, mereka mulai berpikir terhadap Islam dan para pengikutnya. Karena itulah Al-Qur’an menyebut mereka dengan sebutan orang-orang yang tidak berpikir.

Sedangkan orang-orang munafik disebut sebagai orang-orang yang tidak bersifat tegas. Mereka tidak menjadi kafir yang sejati dan mereka tidak menjadi mukmin yang sejati, seperti yang disebutkan dalam ayat berikut, “Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir),” (QS al-Nisâ’ [4]: 143).

Mereka tidak mendapatkan cahaya keimanan di mata mereka. Mereka kehilangan perasaan yang sejati, karena mereka mengira bahwa kehidupan hanya sebatas itu; kehidupan hanya di dunia saja. Maksudnya, mereka boleh bersenangsenang selama di dunia. Karena itu, keimanan dan kekafiran dianggap sama oleh orang-orang munafik. Jika mereka mendapati kehidupan yang menyenangkan, maka mereka berpihak pada kehidupan itu dan jika mereka merasa bahwa mereka harus masuk masjid, maka mereka masuk ke dalam masjid. Akan tetapi, Allah Swt. mensifati mereka sebagai berikut, “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali,” (QS al-Nisâ’ [4]: 142).

Memang mereka masuk ke dalam masjid dan mengerjakan shalat bersama orang-orang muslim, tetapi mereka melakukan shalat dengan malas. Mereka hanya ingin menunjukkan shalat mereka kepada orang-orang beriman. Mereka tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit. Mereka berpura-berpura menjadi muslim, tetapi kalbu mereka sangat benci kepada kebenaran Islam dan orang-orangnya. Kalbu mereka telah ditutup oleh Allah, sehingga mereka tidak beriman dan tidak pernah bersifat ikhlas. Pada akhirnya mereka pun menjadi orang-orang yang rugi. Itulah istilah yang digunakan oleh Al-Qur’an bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak kembali kepada kebenaran. Untuk lebih jelasnya sifat-sifat orang munafik telah dijelaskan dalam surat al-Munafiqun bahwa mereka adalah orangorang yang tidak mengetahui dan tidak mengerti, tetapi mereka tidak disebutkan sebagai orang-orang yang berakal dan berpikir, karena sifat-sifat tersebut berhubungan dengan diri mereka yang tidak mau menerima keimanan.

Sumber :https://fgulen.com/id/karya-karya/tafsir-al-quran/1890-surah-al-baqarah/49509-surah-al-baqarah-2-18

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota