Polusi Spiritual & Adab Pendidik

Tadabbur Realitas Kehidupan

Menurut Muhammad Imarah dalam Min Fiqh Al-Muwâjahah baina Al-Gharb wa Al-Islâm[1], untuk mengganti falsafah benturan dan hegemoni antar-bangsa dan peradaban, Islam menawarkan konsep kompetisi (Musâbaqah). Konsep tersebut akan mengajarkan perlombaan, kerja sama, dan saling pengertian, bukan hegemoni, benturan, dan perang.

Allah SWT berfirman:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) tempat ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (untuk berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 148).

Islam mengajak setiap peradaban yang memiliki cara pandang berbeda untuk membuktikan bahwa cara pandang yang ia anut adalah cara pandang yang terbaik. Bahkan,  Islam menginginkan agar dunia ini menjadi Forum Peradaban (al-muntadâ alhadhârî) yang terdiri dari berbagai agama, falsafah, dan kebudayaan. Islam tidak menginginkan hegemoni tetapi menginginkan pluralitas.

Cara pandang Islam terhadap peradaban tersebut akan membentuk pluralitas peradaban. Dalam keadaan tersebut tidak akan ada lagi hegemoni, penjajahan, benturan, dan perang. Benturan biasanya akan melenyapkan kemajemukan. Dalam benturan selalu ada hegemoni. Hegemoni selalu mengarah kepada penjajahan serta kemanunggalan.
Segala sesuatu harus melebur, menyatu, mengikuti, dan menyerah kepada yang kuat. Tentu saja hal ini bertentangan dengan demokrasi, HAM, kemajemukan, dan kebebasan yang selama ini sering dikampanyekan oleh orang-orang penganut nilai-nilai liberal.

Di sinilah bermula neo-imperialisme baru yang disebut sebagai “Al-Ghazwul Fikrî” atau “Al-Ghazwu Al-Tsaqâfî” : perang pemikiran, konfrontasi budaya yang melahirkan berbagai paradoks dan ketimpangan dalam kehidupan muslim di era modern ini.

Adalah sebuah kenyataan di mana umat manusia menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Namun menurut Syed Naquib Al-Attas rahimahullah, seorang tokoh intelektual yang cukup dikenal di kalangan Barat dan Islam, memandang bahwa problem terberat yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini ialah hegemoni dan dominasi kelilmuan sekuler barat yang mengarah kepada eksploitasi kemanusiaan, bahkan pada kehancuran. Peradaban Barat memandang : kebenaran fundamental sebuah agama hanyalah sebuah teori. Kebenaran absolute dinegasikan/diabaikan, dan nilai-nilai relative dijadikan standar. Tidak ada suatu kepastian. Konsekuensinya ialah, konsep Tuhan dan akherat dinegasikan, dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur dunia. Manusia dipertuhan, dan Tuhanpun dimanusiakan. Walhasil paradigm ini melahirkan berbagai problema kemanusiaan sebagai akibat dari kerancauan sistem nilai dan pandangan hidup.

Berbagai Polusi Postmodern[2]

Kata kunci pada statemen di atas ialah : benda atau kebendaan. Kita hidup dalam suasana serba-benda; objek, barang maupun produk. Selain itu, kehidupan kita saat ini dikepung oleh citra dan pencitraan palsu, yang hadir hampir tanpa interupsi. Semuanya meninggalkan jejak : radiasi budaya dan polusi spiritual yang sangat parah.

Pertama, polusi mata atau polusi penglihatan (pollution of vision) sebagai akibat dari produksi yang berlebihan citra dalam aneka media postmodern; teknologi informasi, internet, media sosial, game,  dan berbagai perangkat digital lainnya yang melampaui apa yang dapat ditangkap oleh mata kita. Ledakan citra dan pencitraan membanjiri hampir semua ruang kehidupan kita; rumah, tempat hiburan, sekolah, bahkan masjid. Semuanya melahirkan kegemukan citra atau obesitas imajinasi manusia yang berlebihan. Dampaknya bukan saja memanjakan mata, juga barangkali akan melahirkan generasi posmodern yang mayoritas berkacamata. Budaya tontonan melahirkan masyarakat tontonan.Bahkan lebih dari itu, suasana ini akan semakin menggelisahkan hati nurani karena justeru menutup ruang perenungan. Keterpesonaan akan citra palsu memelangkan mata dari cahaya kebenaran.

Kedua, polusi kebendaan (pollution of object) sebagai akibat dari produksi barang-barang yang berlebihan, melampaui kebutuhan substansial manusia. Logika kebutuhan diambil alih oleh logika keinginan. Overproduksi benda-benda menciptakan semacam kegemukan/obesitas kebendaan. Kedudukan dan kehormatan manusia dipandang dari perspektif benda-benda; rumah, mobil, atau seri hanphone terkini yang dimilikinya. Semuanya serba sibuk dengan benda-benda ini, dan manusia kehilangan waktu untuk urusan spiritual dirinya. Manusia sibuk dengan segala urusan, kecuali dirinya. Jadilah ia teraleniasi, termarjinalkan justeru dari dirinya sendiri.

Ketiga, polusi informasi (pollution of information), atau obesitas informasi sebagai akibat dari komunikasi dan informasi yang melampaui batas. Kecepatan pergantian informasi mengakibatkan manusia kehilangan kemampuan untuk memilih dan mencerna informasi, apalagi memaknainya. Putaran informasi seperti sampah raksasa dalam banjir yang tak dapat dibendung oleh manusia. Tak ada semangat transendensi atau pemaknaan mendalam dalam menerima dan menolak sebuah informasi. Semuanya serba permukaan dan sangat dangkal. Bahkan para pejabat negara sekalipun sulit melahirkan keputusan dan kebijakan yang betul-betul bijak, sebab tak ada waktu dan ruang untuk menangkap informasi penderitaan rakyat.

Keempat, polusi gaya hidup (pollution of life style). Manusia posmodern terperangkap dalam gaya hidup yang sarat konsumerisme. Budaya konsumeris ini memaksa manusia menjadikan benda-benda dan aksesoris sebagai identitas diri yang paling utama. Bahkan yang bernuansi agamapun, tampaknya kurang keren, jika tak bersampul “konsumerisme”. Dalam budaya konsumerisme, Islam ditonjolkan sebagai fashion/life style, dan belum menjadi the way of life.

Kelima, polusi tubuh (pollution of body), sebagai akibat dari budaya yang serba visual, tubuh manusiapun dieksploitasi sedemikian rupa, melampaui batas kepatutan dan kearifan. Derajat tubuh manusia sedemikian rendah, dan hanya tubuhlah yang berhak merepresentasikan hakekat atau kesejatian manusia. Selfie umpamanya, bisa diupdate persatu jam sekali. Ada banyak peristiwa visual sekelompok orang sangat akrab dan mesra dalam pencitraan selfie, namun sesungguhnya tak ada perbincangan apapun, kecuali setiap orang sibuk mencari photo terbaru yang siap diupload. Bahkan ketika bangun di keheningan malam untuk tahajjud, selfie dulu, dan update status “munajat dulu bro, haree geene gak sholeh?!”. Penyingkapan tubuh yang berlebihan semakin menjauhkan manusia dari cahaya Ketuhanan (nur Ilahi).

Keenam, polusi ruang-waktu (pollution of space-time), akibat dari gaya dan model kehidupan yang direkayasa oleh Kapitalisme di atas, waktu terasa begitu cepat. Manusiapun terjebak pada suasana serba tergesa-gesa, dan kesusu : panik, dan tak lagi menikmati perjalanan waktu dengan nyaman, dan santai. Kepanikan memaksa manusia masuk dalam sebuah ruangan yang nyaris tanpa interupsi, hilangnya ni’mat dan kekhusyu’an ibadah, tak ada lagi kesempatan merenung, muhasabah atau kontemplasi mendalam. Daya refleksi anak muda kita sangat rendah. Semuanya serba cepat dan kesusu. Semua orang seolah-olah sibuk, tanpa ada waktu untuk menarik nafas sesaat. Serba repot, serba terbebani oleh hal-hal, yang kadangkala, hanya sebuah imajinasi diri yang tak nyata. Tiba-tiba saja waktu terasa cepat berlalu, dan banyak permasalahan penting dalam kehidupan belum tertunaikan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّمَ هُوَ قَالَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ‘alaihissalam bersabda (tentang tanda-tanda kiamat); “Jaman terasa ringkas, amal shalih berkurang, kebakhilan merajalela, fitnah (maksiat) dinyatakan secara terang-terangan, dan banyak al-haraj.” Para sahabat bertanya; ‘Ya Rasulullah, apa maksud istilah al haraj? ‘ Nabi menjawab “Pembunuhan-pembunuhan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Pemenuhan atas segala hasrat Kapitalisme yang destruktif tersebut meninggalkan jejak bagi tiga kerusakan sekaligus : pemenuhan produksi yang berlebihan menuntut eksplotasi sumber daya alam dan melahirkan kerusakan ekologi lingkungan berupa kerusakan hutan, habitat dan tubuh. Rekayasa kesadaran manusia untuk terjebak pada logika objek, citra, kebendaan, dan gaya hidup berlebihan melahirkan kerusakan ekologi mental. Sementara ruang ekspresi sosial yang serba virtual dan interaksi yang serba maya dan jaringan komputer telah melahirkan kerusakan ekologi sosial.

Tiga kerusakan ini selanjutnya semakin sempurna dengan hadirnya dampak keempat yaitu, kerusakan ekologi spiritualitas. Manusia mengalami penyakit akut : lupa diri, karenanya semakin keliru dalam memahami dirinya sendiri. Keliru memahami Tuhan Penciptanya, salah menafsir hidupnya, dan akhirnya gagal mendesain dan mencapai tujuan hidupnya yang hakiki.

Lebih seratus tahun yang lalu, KH Ahmad Dahlan rahimahullah, mengajarkan kita tentang ma’rifatuz zaman, melek zaman dan paham realita kehidupan ini. Beliau berkeyakinan dan mengajarkan murid-muridnya bahwa malapetaka terbesar yang mengancam manusia ialah sikap mempertuhankan hawa nafsu, yang dinyatakannya sebagai musyrik dan paganis! Menghambakan diri kepada hawa nafsu tampil dengan multi-wajah; taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat; mendudukkan cinta makhluk di atas cinta kasih kepad Allah ta’ala.

KH Ahmad Dahlan rahimahullah mengajarkan murid-muridnya bahwa berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.

Sebab itu, ajaran pertama beliau ialah surah Al-Jatsiyah ayat 23 :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Kehidupan yang sangat paradoks ini mengingatkan kita isyarat kenabian berikut ini :

قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ كَيْفَ قَالَ « يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ».(رواه مسلم)

Hudzaifah bin Al-Yamaan, berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana itu ?”. Beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnahku sebagai tradisi yang mereka tuntunkan. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”.[3] 

Membaca Ulang Visi Pendidikan Kita

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ. هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah) dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. Al-Jumu’ah/62 :1-2)

            Ayat terbaca di atas menegaskan tiga fungsi kenabian yang diemban oleh Rasulullah s.a.w.; 1) tilawah [proses pembacaan yang disertai sikap pengagungan terhadap apa yang dibaca dan komitmen untuk mengikutinya]; 2) tazkiyah sebagai proses purifikasi [pensucian] dan; 3) ta’lim sebagai proses pengajaran, penguasaan sumber ilmu dan berbagai informasi lainnya. Dari sinilah kemudian, para ahli ilmu, diantaranya Fu’ad Al-Syalhub, menulis sebuah buku bertajuk “al-Mu’allim al-Awwal shalallahu ‘alaihi wa sallam” yang dinisbatkan kepada Rasulullah s.a.w.

            Dari perspektif ini, tidaklah berlebihan jika penulis nyatakan bahwa, profesi kependidikan atau guru ialah kelanjutan dari serial panjang risalah kenabian yang menyelamatkan manusia min al-dzulumat ila al-nur, sekaligus menegaskan kesuciannya karena “misi suci” yang diembannya. Sabda Rasulullah s.a.w. (العلماء ورثة الأنبياء)[4] cukup mendasari pernyataan ini, termasuk apresiasi Nabi tentang  Malaikat yang merendahkan sayapnya sebagai simbol pemuliaan orang-orang berilmu, pun pula do’a dan istighfar mereka.[5] Bersebab itu, tugas seorang pendidik bukanlah sebatas transfer pengetahuan belaka yang seringkali tersekat dengan suasana formalistik, tapi lebih dari itu, mereka berkewajiban melakukan transformasi nilai-nilai kebaikan; membantu para murid dalam menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah s.w.t. yang paripurna (insan kamil).

Inilah, dalam hemat penulis, sebagai paradigma pendidikan Islam yang berbasis pada wahyu Allah s.w.t. Sebuah karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w. yang sangat penting untuk terus digemakan di saat, tidak sedikit praktisi pendidikan yang hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas  (cognitive) dan psikomotorik belaka dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Islam mengajarkan keseimbangan tiga domain seklaigus; kognitif, afektif dan psikomotorik.

Prof. Dr. Naquib Al-Attas rahimahullah –salahseorang pemikir muslim terkemuka-  menggagas operasionalisasi konsep pendidikan Islam dengan istilah “ta’dib” yang berarti,  penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. Al-Qur’an menyebut contoh manusia ideal bagi orang beradab adalah Nabi Muhammad s.a.w. Beliaulah potret insan kamil sejati. Oleh karena itu, pengaturan administrasi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan Islam haruslah merefleksikan Manusia Sempurna (insan kamil). Menurutnya, orang terpelajar/terdidik adalah orang baik, dalam pengertian yang menyeluruh meliputi kehidupan spiritual dan materialnya. Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggungjawab dirinya kepada Allah Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.”[6]

Oleh karenanya, pengertian adab sebagaimana pernyataan terbaca di atas setidaknya mengandung beberapa unsur, yaitu; tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran; pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik; perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk; ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji; pengenalan dan pengakuan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat; serta realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah (kebijaksanaan). Di sinilah kemudian, dapat kita petakan secara cermat makna pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Pengajaran dan pelatihan dapat diberikan kepada manusia dan binatang, sementara pendidikan hanya dapat dilakukan untuk manusia.[7]

Spirit“al-Matsal al-A’la” pada Kepribadian Pendidik

Karakter secara leksikal berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.[8] Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup; pengetahuan, sistem keimanan, ideologi, pengalaman sejarah serta penilaian kita terhadap sejumlah pengalaman tersebut. Jadi, kepribadian atau karakter kita merupakan hasil interaksi  totalitas kita tersebut dengan berbagai peragkat dasar kemanusiaan yang  kita miliki. Karakter bukanlah sekedar konstruksi nalar. Karakter merupakan titik akumulasi di mana nalar, kesadaran moral (konsep haq dan bathil, khair dan syarr) dan kesucian jiwa bertaut, memancarkan cahaya kehidupan dan menghadirkan pencerahan jiwa yang konstruktif.

Mentadabburi ayat berikut ini,

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ  وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ  وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS Al-Nahl/16:60)

Al-Imam al-Qurthubi berpandangan, orang-orang kafir,  yang tak beriman kepada akherat dan mensifati Allah beranak perempuan, mempunyai karakter teramat buruk seperti kejahilan dan kekufuran. Sementara Allah Maha Mulia Sifat-sifatNya, dan tak ada yang dapat menandingiNya.

Isyarat Ilahiah yang dapat kita tangkap dari penjelasan di atas, terkhusus pada ranah pendidikan, Nabi ‘alaihissalam dapat dikatakan sebagai “al-matsal al-A’la”. Dari perspektif ini, seorang guru sejati, secara mendasar dan dari relung jiwa terdalamnya harus menancapkan kesediaan dan komitmen untuk menjadi “prototype” dan manifestasi dari “model kenabian” sebagai operasionalisasi Firman Allah :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Spirit “al-matsal al-a’la” pada struktur kepribadian pendidik termanifestasikan utama pada niat dan orientasi dasar menekuni profesinya. Ikhlas adalah kebeningan, ketulusan, keheningan, kejernihan, kemurnian, autentik dan bersih dari berbagai noda.

Dalam kitabnya, Al-Hikam, Ibnu Athaillah secara tajam mengajarkan kita,“Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yang tidak sepenuhnya bagi-Nya, begitu pulalah Allah tidak menyukai hati yang tidak sepenuhnya bagi-Nya. Amal yang tidak sepenuhnya bagi-Nya, tidak Dia terima; dan hati yang tidak sepenuhnya bagi-Nya juga tidak Dia pedulikan.”

Pada setiap kitab hadis yang ditulis oleh para ulama terkemuka, selalu saja kita temukan hadits “innama al-a’mâlu bi al-niyâtsebagai hadis pemula yang mengawali setiap bab dari kitab-kitab tersebut. Pada hadis yang pertama ini, Rasulullah ‘alaihissalam memetakan manusia beradasarkan orientasi hidupnya menjadi dua kelompok :

Pertama, Allah dan Rasul oriented yang disimbolisasi dengan hijrah kepada Allah dan Rasulullah. Semata berharap kebaikan dan nilai di sisi Allah dan Rasul-Nya;

Kedua, berorientasi sempit jangka pendek yang disimbolkan dengan dunia dan wanita. Dalam ungkapan yang lain, kelompok yang pertama ialah orang-orang yang hidup dengan visi jauh ke depan, melampau batas-batas dunia saat ini. Mereka tidak terkecoh dengan jebakan-jebakan sesaat yang bisa jadi berakhir dengan kerugian dunia maupun akherat. Sementara kelompok kedua merupakan orang-orang yang pragmatis dan oportunis yang lupa diri. Mereka disebut sebagai “fasiq”; intelek, mengetahui kebenaran namun ia mengkhianatinya :

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr/59:19).

Model orientasi hidup kelompok kedua dapat dikategorikan sebagai pandangan hidup sekularistik, meskipun barangkali, oknum yang bersangkutan tidak menganut Sekularisme sebagai ideologinya. Namun praktek kehidupannya sangat sekuler. Hal ini tak lepas dari pengaruh dan dominasi peradaban Barat yang semakin besar di era globalisasi. Bagi kaum Muslim, globalisasi bukan hanya melahirkan ketimpangan global dan eksploitasi di bidang politik dan ekonomi, tetapi, juga mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam. Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Paham-paham itu jelas langsung menusuk jantung ajaran Islam.

Tak berlebihan jika kita tegaskan kembali bahwa syarat utama menggapai hijrah yang paripurna dalam hidup ini ialah keteguhan dan kejujuran kita dalam melakukan desekularisasi dalam keseluruhan dimensi kehidupan ini. Sebagaimana Allah mengajarkan kita sebuah komitmen dengan nafas dan jiwa tauhid yang otentik.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am/6:162-163)

Seorang pendidik yang berkeikhlasan selalu Allah-oriented, menunaikan tugas-tugas edukatif dan administratifnya dengan sebaik-baiknya (itqan al’amal), serta memanfaatkan hasil usahanya dengan tepat dan benar (jawdat al-ada’).

Pendidik yang Allah-oriented selalu semangat menunaikan tugas-tugasnya, sebab ia selalu berada dalam suasana muraqabah (pengawasan Allah) dan kebersamaanNya (ma’iyyatullah). Ia akan selalu menjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya, sebab ia yakin derajat dan martabatnya ditinggikan oleh Allah :

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang~rang yang diberi ilmu beberapa derajat; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui.” (QS Al-Mujadalah : 11)

 

Menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Abbas RA berkata,”Orang-orang beriman yang berilmu lebih tinggi tujuhratus derajat/tingkat dibandingkan dengan orang-orang beriman pada umumnya, di mana jarak antara satu derajat dengan derajat berikutnya hanya dapat ditempuh perjalanan seratus tahun!”.[9]

Ketinggian derajat yang mana lagi yang hendak dicari-cari oleh orang yang berilmu, termasuk kita, para pendidik ?. Perhatikan sejenak, bagaimana para penduduk langit dan binatang-binatang itu mendo’akan dan memohonkan ampunan bagi para ilmuan, sabda Nabi ‘alaihissalam :

مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَبْـتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ، وَإِنَّ الْمَـلاَئِـكَةَ لَتَضَعُ أَجْـنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَـسْـتَغْـفِـرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَـا وَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِـيْتَـانُ فِي الْمَـاءِ .

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.”[10]

Betapa indahnya kehidupan para pendidik, penebar kebaikan. Para Malaikat, dan bahkan binatang melatapun tak ketinggalan berdo’a dan beristighfar untuknya !. Yakinlah bahwa setiap huruf dari kebaikan dan ilmu yang kita tuturkan, kita ajarkan kepada para murid akan menjelma menjadi cahaya penerang di hari Kiamat, setiap huruf itu akan menjelma  kilauan kemuliaan, lebih dari sekedar emas, yang akan menjemput dan mengantarkan kita ke dalam Firdaus kelak!.

Ingatlah selalu, bahwa kata-kata yang keluar melalui lisan yang tak bertulang ini adalah ciptaan Allah yang memiliki ruh. Ya, kata-kata kita itu berjiwa, bukan hampa. Kata bukan sekedar rangkaian huruf yang mati tak berenergi. Yakinlah, semakin ikhlas, semakin dalam sumber kata-kata itu di lubuk hati dan nurani kita, semakin ia menghujam dalam pada sanubari murid-murid kita. Mereka akan merasakan bahwa ada energi dan spirit pada setiap kata dan untaian kalimat yang mereka dengar dari guru-guru mereka.

Metakomunikasi Pendidik Profetik

Sebab itu, mari kita perlakukan setiap murid kita sebagai anak kandung kita; bukan sebagai anak orang lain yang sekedar dititipkan. Secara spiritual, kita seharusnya merasakan bahwa murid-murid kita adalah anak-anak yang terlahir dari rahim para ibu guru; mereka adalah anak-anak polos yang penuh semangat menikmati setiap tetesan keringat dari para bapak guru, sebagai ayah mereka. Ketika pelayanan administratif kita berikan kepada mereka, kita perlakukan mereka secara profesional dan penuh tanggungjawab. Mereka ibaratnya seorang customer yang membutuhkan jasa dan pelayanan kita, dan kita butuh mereka. Namun, jangan pernah lupa dan lalai, mereka adalah anak kandung kita yang membutuhkan segala ketulusan, kasih sayang, dan senyum manis kita dalam mendidik dan mengarahkan mereka kepada kemuliaan adab.

Relakah kita, jika anak-anak kandung kita diperlakukan secara kasar,  lagi tiada santun oleh orang lain?. Jawabannya, tidak!. Selain kesadaran sosial-kemanusiaan tentunya, Allah pun sejak azali mengingatkan kita :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159).

 

Suatu saat kepada Rasulullah ‘alaihissalam,  Abu Syuraih berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga!.” Beliaupun bersabda :

إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ

Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.[11]

Pentingnya sikap ramah dan lemah lembut juga ditegaskan oleh Rasulullah ‘alaihissalam kepada isteri tercintanya,“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dan Dia memberi pada kelembutan (ramah) itu sesuatu yang tidak diberikan Nya pada sikap kasar, dan apa yang tidak diberikan Nya pada yang lainnya.”[12]

Kepada para pegawai dan segenap karyawan, dari tingkat yang paling atas sampai para sahabatku para petugas kebersihan, yakinlah, anda, dan kita semua adalah barisan mujahid yang berjuang di jalan Allah (fi sabilillah) . Perhatikan petunjuk  Nabi berikut ini :

Suatu saat, para sahabat tertegun melihat seorang pemuda gagah yang begitu antusias dan penuh semangat berjalan cepat menuju pekerjaan rutinnya. Serentak mereka mengomentari, “Duh, kalaulah semangatnya anak muda itu ke medan juang  fi sabilillah!.” Nabi segera menimpali dan meluruskan persepsi salah tersebut, sabda Beliau :”Janganlah kalian katakan seperti itu!. Maka sesungguhnya anak muda itu, jika ia keluar bekerja mencari nafkah untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada fi sabilillah. Atau barangkali, anak muda tersebut sedang berusaha menghidupi dua orang tuanya yang sudah berusia lanjut, maka ia pun fi sabilillah. Atau barangkali, anak muda itu sedang berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri, dan ia menjaga kemuliaan dirinya (agar tidak meminta-minta), maka ia fi sabilillah. Adapun, jika ia pergi bekerja sekedar untuk pamer dan bersombong diri, maka ia berada di atas jalan syaitan.”[13]

Kepada para petugas kebersihan, mari kita tanamkan spirit kenabian ini pada diri kita masing-masing. Yakinlah, setiap kerikil dan daun berserakan yang kita bersihkan, di Hari Akhir…in syaa Allah akan menjelma menjadi lembaran-lembaran emas dan mutiara berkilau yang akan menyambut di pintu surga Firdaus!.

Paradigma Tauhidik : Integrasi & Kesatuan Ilmu Pengetahuan, Bukan Dikotomik-Sekularistik.

Kokohkanlah ajaran tauhid dan semangat bertauhid secara totalitas dan holistik dalam jiwa para murid. Ajarkan mereka kesatuan dan integrasi segala ilmu. Islam tidak mengenal keterpisahan dan dikotomi ilmu pengetahuan.

Khursyid Achmad, seorang pakar muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh sistem pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu; pertama, pendidikan telah gagal mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar; kedua, pendidikan semacam ini gagal menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa generasi muda. Pendidikan semacam ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi gagal memenuhi kebutuhan jiwa; ketiga, pendidikan liberal membawa akibat terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan ilmu dalam kesatuan yang utuh; keempat, selanjutnya pendidikan liberal menghasilkan manusia yang tidak mampu menghadapi masalah kehidupan yang mendasar.

Oleh karenanya, krisis pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada frame-work dan paradigma Islam yang tauhidik. Hakekat pencarian ilmu adalah Ma’rifatullah, mengenal Allah. Konsekuensinya: Tawhidullah. Sementara tujuan pencarian ilmu ada dua; (1) Manhajul Hayat, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan paraturan hidup (Al-Qur’an dan Sunnah), dan (2) wasilatul hayat,instrumental dan sebagai sarana kehidupan.

Ulama kita terdahulu berijtihad dan mengelompokkan ilmu menjadi dua macam : Fardlu ‘ain dan Fardlu kifayah; Ilmu Fardlu ‘ain  adalah : (1)Ilmu mengenai aqidah yaqiniyah/keimanan/selamat dari syirik, (2) Ibadah, yang menata hubungan vertical antara manusia dan Rabb, (3)  Akhlaq, yang dengannya jiwa manusia menjadi bersih, hati disucikan, dan (4) Mu’amalah,  yang menata khidupan pribadi, keluarga, social kemasyarakatan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah yang dibutuhkan untuk menciptakan sarana atau lingkungan yang kondusif bagi dihasilkannya manusia-manusia baik.

Dengan demikian sesungguhnya Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, yang membuat manusia menjadi sekuler. Mengapa para ulama terdahulu, disamping mereka menjai para ilmuan, ahli fisika, matematika, kimia, biologi, kedokteran dll dan pada saat yang sama mereka menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, ahli hadis dll? Jawabannya jelas, karena mereka tidak terjebak pada dikotomi : ilmu untuk dunia dan ilmu untuk akherat. Semua ilmu diarahkan untuk mencari ridla Allah. Mereka berkeyakinan ilmu apapun termasuk dalam jihad fi sabilillah, jika memang untuk ridla Allah. Mereka memiliki energi yang seimbang untuk mewujudkan itu semua.

Zaman sekarang kita menjadi kehilangan energi karena measa ilmu umum tidak ada kaitannya dengan surga. Sebaliknya yang belajar agama kadang merasa angkuh seolah-olah surga sudah ada ditangan? Hadis berikut ini, umpamanya, tidak semestinya “dibajak” hanya untuk ilmu-ilmu studi keagamaan, tetapi untuk ilmu secara menyeluruh selama mengantarkan kepada hakekat dan tujuan pencariannya. Yang demikian agar kita tidak terjebak pada “despiritualisasi” ataupun “desakralisasi” ilmu pengetahuan.

Tazkiyatun Nufus : Menjaga Stamina Spiritual di Tengah Badai

Hampir seratus tahun yang lalu, KH Ahmad Dahlan rahimahullah mengajarkan tentang ma’rifatuz zaman kepada murid-muridnya. Mereka diminta untuk mawas diri, dan selalu berusaha memahami karakter dan realitas zamannya. Beliau berkeyakinan bahwa malapetaka terbesar yang mengancam manusia ialah sikap mempertuhankan hawa nafsu, yang dinyatakannya sebagai musyrik dan paganis! Menghambakan diri kepada hawa nafsu tampil dengan multi-wajah; taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat; mendudukkan cinta makhluk di atas cinta kasih kepad Allah ta’ala.

KH Ahmad Dahlan rahimahullah mengajarkan murid-muridnya bahwa berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.

Jika dinamika zaman dan peradaban seperti di atas seringkali memaksa, atau bahkan menteror manusia agar  meninggalkan poros utama fitrah dan kesuciannya, mungkinkah manusia menemukan kembali fitrah dan kembali ke orbit semula? Inilah kegelisahan spiritual KH Ahmad Dahlan rahimahullah. Beliau mengajarkan kepada kita untuk berkata “bisa”! Karena memang itulah wajah otentik kita, kesucian kita.

Dalam pandangan pendiri Muhammadiyah ini, orang yang berbahagia dan beruntung melintasi zaman ialah orang-orang yang senantiasa melakukan pensucian diri dan  jiwanya. Inilah laku tazkyatun nufus yang terinspirasi melalui Kalam Ilahi, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Al-A’la : 14-17).

Tazkyatun nufus dalam perspektif KH Ahmad Dahlan bukanlah jebakan romantisme spiritual yang seringkali bersifat fatalis (jabariyah) dan menafikan relasi dengan alam serta dunia nyata. Tazkyatun nufus yang kita yakini dan lakoni ialah proses pensucian jiwa yang aktif dan produktif sekaligus berkontribusi positif dalam menata ulang dan membangun kembali rumah peradaban kita. Itulah sebabnya beliau menggugah murid-muridnya, “Apakah “kesucian diri” sebatas klaim semata? Bukankah orang-orang Hindu, Budha dan Nasrani juga mengakui hal serupa? “Apakah kamu seperti mereka?”. Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata.

Tazkyatun nufus ialah titik pertautan tiga amalan sekaligus; Dzikrullah, shalat dan ingat kematian. Pensucian jiwa meniscayakan kokohnya relasi kita dengan Allah. Asma’ & ShifatNya aktual dalam laku kehidupan kita. Totalitas kehidupan kita berada pada bingkai orientasi kepada Allah semata. Inilah esensi penegakan shalat yang melahirkan pribadi dan generasi peradaban yang visioner; menembus batas kehidupan alam materi: ingat kematian!.

Di atas sebuah papan tulis, dekat dengan meja kerjanya, KH Ahmad Dahlan menulis dalam bahasa Arab,

يَادَحْلاَنُ، إِنَّ اْلهَوْلَ أَعْظَمُ وَاْلأُمُوْرُ اْلمُفْظِعَاتُ أَمَامَكَ وَلاَبـُدَّلَكَ مِنْ مُشَاهَدَةِ ذَلِكَ إِمَّا بِالنَّجَاةِ وَإِمَّا بِاْلعَطَبِ…

يَادَحْلاَنُ، قـَدِّرْ نَفْسَكَ مَعَ اللهِ وَحْدَكَ وَبَيْنَ يَدَيـْكَ ْالَموْتُ وَاْلعَرْضُ وَاْلحِسَابُ وَاْلجَنَّةُ وَالنَّارُ

وَتَـأَمَّلْ فِيْـمَايـُدْنِـيْـكَ مِمَّا بَيْنَ يَدَيـْكَ وَدَعْ عَنْكَ مَاسِوَاهُ.

Hai Dahlan, Sungguh bahaya yang menyusahkan itu lebih besar dan perkara-perkara yang mengejutkan ada di hadapanmu, dan pasti kau temui kenyataan yang demikian itu, entah dengan selamat ataupun dengan kebinasaan.

Hai Dahlan, bayangkanlah hanya  dirimu sendiri berhadapan dengan Allah, sementara di depanmu ada maut yang menanti, ditampakkan segala urusan, penghitungan atas segala amal, juga ada surga dan ada neraka.

Dan renungkanlah apa-apa yang mendekatimu dari sesuatu yang ada di hadapanmu, yaitu maut, dan tinggalkanlah dari dirimu selain itu.[14]

Ikhtitam

Semoga Budi Mulia Dua di usianya yang ke-29 semakin tangguh, dan terus berkembang menebar barokah bagi umat dan kemanusiaan universal. Di sini, di Komplek Perguruan Budi Mulia Dua, in syaa Allah, akan menjelma menjadi Qoryah Thayyibah ‘Ashriyah yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Qoryah Thayyibah ‘Ashriyah akan menjadi saksi peradaban yang dengan izin Allah akan menjadikan Republik ini menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Allahu Akbar!

Wa bilkhusus, teruntuk Ayahanda yang mulia Bapak Professor Dr. HM. Amien Rais, M.A., dari hati yang terdalam saya berdo’a dan bermunajat semoga beliau dan keluarga selalu dikaruniai Allah Ta’ala kesehatan dan umur panjang yang berlimpah barokah bagi kebaikan umat dan negeri ini. Saya tak sanggup menyebut jasa-jasa beliau bagi Islam dan umatnya, bangsa dan negeri ini. Tak biasanya saya berdo’a dengan lantunan munajat kaum Shufi di keheningan malam, ketika mereka tak mampu lagi mengidentifikasi diri di hadapan Allah Yang Maha Agung. Bersebab itu mereka merintih tak berdaya bersujud kepadaNya, “kafâ du’â-î ‘ilmuka bi hâlî”: Ya Robb, cukuplah do’aku segala Ilmu-Mu tentang diriku yang tak berdaya ini…Ămîn yâ Mujîbassâ’ilîn.

 

 نَصْرٌ مِّنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya).

Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.

( QS. Al-Shaff/61 : 13)

 

 

[1] Diterbitkan di Kairo, 2003

[2] Yasraf Amir Piliang, Agama dan Imajinasi (Bandung : Mizan, 2011), Cetakan I, hlm. 247-255

[3] HR. Muslim

[4] HR Bukhari

[5] HR Tirmidzi, dishahihkan oleh Albani.

[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M Naquib Al-Attas (Bandung:Mizan, 2003), Cet. 1, hal. 174

[7] Ibid., hal. 181-182

[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 445

[9] Ibnu Jama’ah, Tadzkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim , Editor : m. Mahdi al-‘Ajami (Libanon: Dar al-Basya’ir, 1433H), Cet. III, hlm. 37

[10]HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah & Imam Ahmad.

 

[11] HR Thabrani

[12] HR Muslim

[13] HR Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Awsath. Di-shahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shahih, No. Hadits 1428

[14] KRH Hadjid,  Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, Penyunting : Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Yogyakarta: LPI PPM, 2006]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota