Adil dan Proporsional Memandang Poligami

Dalam tradisi Arab sebelum Islam, kaum perempuan diperlakukan secara tidak adil, bahkan dianggap sebagai komoditas dan properti yang dapat diwariskan. Dalam hal perkawinan mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, penuh kekerasan baik secara fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial. Seorang laki-laki dapat beristeri sebanyak mungkin dalam satu waktu yang sama.Sebagai karakter dasar Islam sebagai penebar rahmat bagi kemanusiaan universal, pernikahan semacam ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang luhur, terlebih lagi dalam pandangan Wahyu. Tradisi poligami jahiliyah dikritik, dan dibatasi oleh Al-Qur’an, dan dengan persyaratan yang ketat seperti kemampuan secara fisik dan non-fisik, berlaku adil, serta mewujudkan maslahat. Bersebab beratnya persyaratan tersebut, secara eksplisit Al-Qur’an menekankan monogami sebagai pilihan terbaik, karena pada dasarnya bersikap adil dan menjauhi kemudaratan bagi keluarga adalah lebih utama untuk menjaga ketakakwa-an.

Secara ijtihadi, Muhammadiyah berpandangan bahwa monogami merupakan prinsip dan asas dalam pernikahan Islam. Terkait hal ini, Al-Qur’an menegaskan :

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا . وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa’/4 : 2-3)

Pada dua ayat tersebut dari atas, Al-Qur’an berbicara tentang kondisi yang melatarbela-kangi pengaturan poligami, syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat isteri. Pemahaman komprehensif mengenai ayat ini dapat ditelusuri melalui pembacaan asbab al-nuzul berikut ini. Aisyah r.a. menuturkan bahwa seorang laki-laki memiliki seorang wanita yatim. Lalu dia menikahinya karena wanita itu memiliki kebun kurma. Hingga dia di suruh menjaga kebun itu yang sebenarnya dia tidak mencintai wanita itu. Maka turunlah ayat 3 dari surah Al-Nisa’ tersebut. (HR. Bukhari).

Riwayat lainnya, Urwah bin Zubayr menutur-kan bahwa Urwah bertanya kepada ‘Aisyah r.a. tentang makna ayat “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya)..”. Lalu beliau menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan perempuan yatim yang diperlihara oleh walinya. Tetapi kemudian harta dan kecantikan perempuan yatim itu menarik hati si wali. Tetapi si wali itu ternyata tidak berlaku adil. Dia tidak mau memberi maskawin sebagaimana yang diberikan suami kepada isterinya yang setara. Ayat ini mencegah mereka berbuat demikian dan memerintahkan mereka untuk menikahi perempuan lain (HR. Bukhari & Muslim).

Pesan moral terpenting dari periwayatan tersebut ialah kritik Islam terhadap tradisi jahiliah dan prilaku sewenang-wenang terhadap kaum perempuan, dan menggantinya dengan sikap adil, manusiawi, dan penghor-matan yang tinggi terhadap kaum hawa.

Perspektif lain terkait historisitas ayat 3 dari surah al-Nisa’ dapat dibaca pada Himpunan Putusan Tarjih (Jilid III/389-390). Ayat ini menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemaham-an ini berdasarkan rekonstruksi sejarah saat ayat ini diturunkan pada tahun ke-4 H. Peperangan Uhud yang mengantarkan 70 orang shabat sebagai syuhada’ telah mening-galkan sejumlah persoalan sosial dengan banyaknya para shahabiyat yang menjadi janda, sekaligus anak-anak yatim. Dengan demikian tidak sedikit keluarga yang kehilangan penopang ekonominya. Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh bisa saja mengalami lompatan jumlah janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar.

Pada masa pra Islam, di mana tribalisme menjadi struktur sosial masyarakat Arab, persoalan semacam ini tidaklah berdampak serius, sebab kepala kabilah mempunyai tanggungjawab untuk memberikan jaminan sosial kepada para warganya dengan memberikan santunan tertentu misalnya. Namun seiring dengan kemajuan masyarakat dan perubahan sosial sebagai dampak dari perkembangan Hijaz sebagai rute perdagang-an dari Yaman ke Siria, tentu pula melahirkan konsekwensi logis semacam individualisme, eksploitasi terhadap yang lemah, dan berbagai persaingan lainnya di tengah-tengah masyarakat.

Dalam konteks ini, Islam tidak setback ke masa jahiliyah dahulu namun memberikan pencerahan dengan penekanan terhadap persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Bersebab itu, ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur dalam peperangan, Nabi ‘alaihissalam tidak berlaku sebagai sebagai kepala suku yang secara langsung memberikan santuunan tunai kepada para janda dan anak-anak yatim. Namun beliau tampil sebagai seorang kepala negara visioner yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Dikarenakan terbatasnya sumberdaya finansial negara, maka kebijakan yang diambilnya ialah menghimbau kepada warga yang berkemam-puan secara mental dan material untuk turut serta menanggulangi krisis sosial tersebut dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial. Secara historis tampak bahwa poligami lebih merupakan solusi spesifik atas suatu keadaan “darurat” dimana pelaksanaannya harus mengacu kepada idealisme Al-Qur’an.

Dengan pemaparan tersebut di atas, adalah sebuah kedunguan historis yang akut jika ada pihak tertentu, apalagi tokoh politik atau penyelenggara negara, yang resisten terhadap poligami, bahkan menyatakannya bukan bagian dari ajaran Islam. Dalam hal ini penting bagi mereka untuk berlapang dada dan meluaskan cakrawala literasinya. Wallâhu A’lamu bi-Alshawâb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota