Fathurrahman Kamal : Dakwah Muhammadiyah Fokus Keumatan dan Kebangsaan

Ahad 15 Jan 2017 16:00 WIB

Tantangan dakwah di Indonesia kian kompleks. Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkepentingan besar agar dakwah Islam terlaksana secara maksimal. Menurut Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fathurrahman Kamal, pihaknya telah merampungkan semacam Garis Besar Haluan Tabligh Nasional yang menjadi navigasi dakwah selama lima tahun ke depan.

Ini meliputi berbagai permasalahan dan isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal sudah diidentifikasi sedemikan rupa, kata alumnus Universitas Madinah, Arab Saudi, ini.

Fathurrahman menambahkan, pada 2017 Muhammadiyah manargetkan sejumlah agenda besar. Di antaranya, berikhtiar maksimal mewujudkan gerakan dakwah keluarga secara nasional dengan sistem dan materi terstruktur, gerakan dakwah bagi para guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah, masifikasi pelatihan dakwah bagi para pelajar dan mahasiswa berdasarkan zona wilayah yang telah terpetakan, dan pembinaan keagamaan kepada kelompok difabel.

Wartawan Republika Hasanul Rizqa berbincang dengan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini seputar peta dakwah Muhammadiyah. Berikut petikan perbincangannya:

 Apa saja program Majelis Tabligh PP Muhammadiyah?

Kami mengimbau dan memotivasi seluruh kader persyarikatan, yang saat ini sedang menimba ilmu di berbagai negara, agar terus mengaktifkan kegiatan-kegiatan keagamaan di tempat mereka masing-masing.

Kami juga bekerja sama dengan jaringan Cabang Istimewa Muhammadiyah di berbagai negara, khususnya yang padat dan menjadi tujuan favorit migrasi tenaga kerja kita untuk membuat peta sebaran beserta profesi/pekerjaan mereka.

Hal ini kami lakukan agar dakwah kita tepat sasaran dan sesuai dengan konsep dakwah komunitas yang diamanahkan oleh Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang lalu. Juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga filantropi di tingkat nasional, semacam Lazismu dan lain-lain untuk pengiriman dai/mubaligh lintas negara yang secara periodik dapat membersamai warga Indonesia di luar negeri.

Di samping itu, kami sedang menata cyber tabligh yang diharapkan dapat memproduksi siaran keagamaan berdurasi pendek, berbasis pada permasalahan riil di lapangan, termasuk layanan konsultasi online.

 Apa target Majelis Tabligh PP Muhammadiyah pada 2017 ini?

Majelis Tablig PP Muhammadiyah telah merampungkan semacam Garis Besar Haluan Tabligh Nasional yang menjadi navigasi dakwah selama lima tahun ke depan.

Ini meliputi berbagai permasalahan dan isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal sudah diidentifikasi sedemikan rupa.

Nah, pada 2017 kami berikhtiar maksimal mewujudkan gerakan dakwah keluarga secara nasional dengan sistem dan materi terstruktur, gerakan dakwah bagi para guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah, masifikasi pelatihan dakwah bagi para pelajar dan mahasiswa berdasarkan zona wilayah yang telah terpetakan, pembinaan keagamaan kepada kelompok difabel, mengefektifkan lingkar dakwah komunitas bagi remaja korban penyalahgunaan narkotika dan LP, mengefektifkan badan koordinasi mubaligh dan masjid, khususnya yang berada di bawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah.

 Sejauhmana kaderisasi dai di PP Muhammadiyah terjadi?

Salah satu program unggulan kami pada periode ini ialah masifikasi pelatihan mubaligh muda, dan upgrading para mubaligh di seluruh Indonesia, dengan materi dan sistem terstruktur, dan dengan kontrol yang lebih ketat lagi atas pelaksanaan dan tindak lanjutnya.

Selain membuka dan memberikan beasiswa penuh untuk pendidikan sarjana dakwah melalui Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di berbagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Majelis Tabligh telah menginisiasi dan memulai program Kulliyatul Muballighin (Tabligh Institute) yang menyinergikan kemampuan berbahasa Arab melalui program Ma’had Bahasa Arab UMY, International Program KPI yang berpengantar bahasa Arab untuk materi studi Islam, dengan sistem pendidikan pesantren yang fokus pada pendidikan kepribadian (shibghah), kepemimpinan (prophetic leadership), penguatan kompetensi ilmu syariah dan dakwah, ideologi gerakan dakwah Muhammadiyah, praktikum dakwah, dan dakwah preneurship.

Semoga dapat memberikan kontribusi nyata dalam persemaian para dai dan mubaligh, khususnya di internal Persyarikatan dan umat Islam pada umumnya di republik ini pada masa mendatang.

 Ada istilah laboratorium dakwah. Bisa Anda jelaskan?

Saat ini kita berada di dunia tanpa batas. Perubahan-perubahan sosial berjalan lebih cepat dari apa yang kita imajinasi sekalipun. Kecenderungan dan model keberagamaan umat kita sangat dinamis, bahkan zigzag dan tak selalu linear. Dakwah transformatif yang kita laksanakan haruslah berbasis pada pendekatan ilmiah yang akurat.

Satu permasalahan yang sama bentuk dan rupanya, kadang memerlukan solusi yang berbeda pada dua komunitas yang berbeda. Nah, kerja-kerja dakwah dalam masyarakat yang kompleks membutuhkan solusi yang terstruktur, sistematis, dan mudah dievaluasi.

Semua kepentingan ini dapat dikerjakan melalui laboratorium dakwah yang didukung oleh para ahli dan aktivis dakwah lintas profesi dan keahlian. Laboratorium dakwah juga membantu kita untuk melakukan digitalisasi data-data lapangan secara akurat dan faktual.

Dakwah yang ditopang dengan data-data yang baik, insya Allah, akan lebih mendatangkan kemaslahatan bagi kita semua. Dalam waktu dekat ini Majelis Tabligh dengan dukungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, insya Allah, akan me-launching Da’wah Development Center di UMY.

Apa saja tantangan dakwah di Indonesia menurut Anda, baik dilihat dari aspek geografis maupun lainnya?

 Letak geografis Indonesia di antara dua benua Asia dan Australia, dan di tengah dua Samudra Hindia dan Pasifik, ditinjau dari sudut apa pun; ekonomi, politik, militer, tentu sangat menawan dan strategis. Belum lagi, bentangan ribuan pulau sepanjang garis ekuator dengan iklim tropis yang stabil, merupakan anugerah Allah yang wajib disyukuri. Meski demikian, ada banyak masalah yang timbul dan perlu perenungan mendalam. Saya memandangnya dari dua perspektif: filosofis dan praktis.

Pertama, mari kita renungkan sejenak. Siapkah sumber daya insani kita menghadapi kompetisi dunia ekonomi liberal, taruhlah dengan hegemoni Amerika dan Cina misalnya? Bagaimana dengan dominasi peradaban Barat yang sekuler? Bagaimana dengan kesenjangan penguasaan kita terhadap teknologi digital yang revolusioner saat ini? Lebih jauh lagi, tampaknya peradaban Islam yang spiritual tampak makin terimpit di tengah peradaban materialistik postmodern yang semakin menjauh, bahkan meninggalkan titik episentrum ketuhanan kita (fitrah)?

Kenyataan inilah yang sejatinya menjerumuskan kita kepada kehidupan yang paradoks. Pribadi yang individualis dan tak peduli terhadap sesama, generasi muda yang nyaris mengalami demoralisasi secara masif, masyarakat kehilangan nuansa rohani dan tak lagi guyub, rekatan sosial sangat rendah, kehidupan keluarga yang kering dan rapuh serta tak sanggup menenteramkan anggotanya, ekonomi liberal-kapitalistik yang makin merakuskan, politik masivialis yang serbaboleh dan menghalalkan segala cara, bahkan sampai pada kehidupan beragama dan model keberagamaan yang cenderung artifisial, sekadar life style, dan jauh dari upaya menjadikan agama sebagai the way of life kita.

Lebih jauh dapat dikatakan, masyarakat dengan budaya posmodern yang tak terkendali telah berhasil menciptakan model berketuhanan dan berkenabian yang baru yaitu ketuhanan dan kenabian digital. Ini memperihatinkan, sekaligus menjadi tantangan dakwah yang sangat serius dan perlu paket solusi-solusi alternatif.

Kedua, berbagai permasalahan kompleks tersebut, semata-mata tidak mendera masyarakat di kota metropolitan. Namun, juga yang sangat mengkhawatirkan justru menimpa umat kita yang berada di pelosok negeri ini. Minimnya jumlah mubaligh yang dapat membersamai dan mengarahkan mereka dalam berinteraksi dengan perubahan sosial budaya yang demikian cepat menjadi satu permasalahan sendiri.

 Kenyataan ini memberi ruang yang besar terjadinya semacam gap atau sok kultural tanpa kesiapan mental spiritual yang memadai. Bila dibandingkan dengan umat di perkotaan, revolusi informasi dan arus akulturasi budaya global, sedikit tidaknya menyisakan ruang alternatif pencerahan semacam gerakan spiritualitas baru perkotaan.

 Anda sebutkan masih banyak kursi kekosongan dai di daerah. Apa rencana Anda?

Pertama, membangun sinergitas dengan berbagai elemen umat dan pelaku dakwah di daerah pelosok. Tujuannya ialah pencapaian target dakwah secara efisien, efektif, dan mengindari tumpang tindih kegiatan di lapangan. Dalam hal ini, misalnya, Muhammadiyah bekerja sama dengan Yayasan Muslim Asia.

Muhammadiyah memiliki jaringan struktur dan sistem organisasi yang relatif tersebar sampai ke pelosok. Sementara, Yayasan Muslim Asia memiliki potensi finansial ataupun sumber daya insani yang baik. Sinergi ini telah berjalan sejak 20-an tahun yang lalu, dan saat ini telah memiliki tidak kurang dari 400 dai di pelosok nusantara, yang tersebar di pulau-pulau terluar Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, termasuk di daerah-daerah tak terjangkau dan rawan pemurtadan di pulau Jawa.

Kedua, mendirikan pusat pendidikan dan kaderisasi mubaligh tingkat sarjana dengan beasiswa penuh. Misalnya, Muhammadiyah bekerja sama dengan Yayasan Muslim Asia dan Prodi KPI yang ada di beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk mendirikan program khusus yang berorientasi pada penyiapan SDM dakwah dan tabligh yang siap guna, khususnya di daerah pelosok negeri ini.

Saat ini untuk zona Sumatra kami pusatkan di Unmuh Palembang, Pulau Jawa di UMY dan Universitas Muh Sidoarjo Jatim, Sulawesi di Unmuh Makassar, Kalimantan di Pontianak, dan Bali-Nusa Tenggara di Mataram. Semua lulusan program ini disebarkan di daerah-daerah terpencil yang telah dipetakan.

Ketiga, insya Allah, mulai awal 2017 ini kami akan bergerilya menjalin silaturahim dan kerja sama dengan kementerian dan lembaga negara yang relevan dengan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, khususnya di daerah pelosok. Dengan demikian, kita bisa memberikan kontribusi nyata kepada republik ini, dengan membantu kerja-kerja pemerintah di bidang pengayoman mental spiritual dan pemberdayaan umat.

 Bagaimana agar dai dapat diterima di tengah-tengah umat yang heterogen?

Dalam berinteraksi dengan umat, yang terpenting bagi seorang dai/mubaligh ialah menancapkan kesadaran spiritual pada dirinya bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari anatomi umat tersebut, bukan orang lain. Ia adalah organ dari tubuh umat yang utuh. Seorang dai/mubaligh memperlakukan umat sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Derita umat adalah derita dirinya, pun sebaliknya.

Tidak tepat seorang dai meletakkan dirinya di luar anatomi dan perasaan ataupun penderitaan umat. Sikap mental ini memberinya ruang yang sangat luas untuk berempati kepada umat.

Empati ini sangat penting sebab inilah adab dakwah kenabian dalam melakukan transformasi dan mengayomi umat. Terlebih, di daerah minoritas, moralitas dan etika sosial haruslah dipahami dengan baik. Struktur sosial dan kearifan lokal yang tidak kontradiktif dengan ajaran Islam harus dijunjung tinggi.

Ia memiliki kesadaran akan kemajemukan bangsa dan pluralitas budaya dan agama. Dalam konteks ini sikap hikmah atau wisdom seorang dai sangat penting.

Berdakwaklah dengan cinta. Tebarkan rahmat. Dai bukanlah seorang hakim yang bekerja semata dengan palu vonis yang serampangan. Dai berkewajiban untuk melakukan perubahan, bukan semata bereaksi terhadap kemungkaran yang ada.

Harus menawarkan solusi operasional dan alternatif bagi umat. Ini semua menuntut seorang dai untuk terus meningkatkan kapasitas intelektual, emosi, dan spiritualnya. Cintai dan rahmati umat ini sebab umat ini adalah jasadmu sendiri!

ed: nashih nashrullah

Sumber :  https://republika.co.id/berita/koran/news-update/17/01/15/ojtd024-fathurrahman-kamal-lc-m-si-dakwah-muhammadiyah-fokus-keumatan-dan-kebangsaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota