Memaknai Tanggungjawab Dakwah Dalam Membangun Peradaban Islam

Ma’rifat al-Rasul : Membaca Kembali Peran Peradaban Nabi Agung ‘alaihissalam

Mengawali tulisan ini, saya ingin menyampaikan sebuah pertanyaan atau katakanlah semacam kegelisahan intelektual  dari seorang aktifis mahasiwa di Universitas Gadjah Mada yang sedang mengikuti kajian akidah, yang kebetulan secara rutin saya ampu di sebuah asrama mahasiswa di  Yogyakarta.  Nada pertanyaan yang tampak ekspresif dan antusias, tentunya, sangat saya maklumi lantaran menyangkut sendi keyakinan kita sebagai seorang muslim : ma’rifat al-Rasul r !

Sahabat kita tersebut merasa terusik dengan sebuah pernyataan yang mempertanyakan peran Nabi r dalam membangun peradaban Islam pada masa kenabian. Perkembangan dan kemajuan peradaban Islam tidaklah terjadi pada masa hidup Nabi, di mana beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menunaikan amanah tilawah, tazkyah dan ta’lim[1] terhadap umatnya. Fakta sejarah menyatakan bahwa, peradaban Islam berkembang pesat justeru setelah masa kenabian; dari perkembangan tulis menulis, kodifikasi ilmu-ilmu Islam sampai pada perkembangan sains dan ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh para ilmuwan muslim, khususnya pada masa kejayaan Daulah ‘Abbasiyah. Dengan demikian, katanya, peran kenabian dalam membangun peradaban Islam itu sendiri dipertanyakan (?).

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya mengajak teman-teman untuk mendiskusikan sedikitnya dua hal; pertama, makna dan cakupan peradaban itu sendiri; dan kedua tentang hirarki ilmu dalam kaitannya dengan status ontologis obyeknya yang harus jelas dan diyakini (baca: wujud Allah U), tentunya dalam perspektif epistemologi Islam.

Tentang makna dan cakupan sebuah peradaban dalam perspektif Islam, ada baiknya saya merujuk kepada seorang pemikir besar muslim, berkebangsaan India, Abu al-Hasan an-Nadwie. Dalam bukunya “Madza Khasira-l-“alam bi-n-Khitaathi-l-Muslimin”, beliau mencatat komentar seorang ahli Filsafat berkebangsaan India kepada Mr. Good, seorang Professor berkebangsaan Inggris sebagai berikut;

“Sungguh, Anda (bangsa Barat, pen.) mampu terbang di atas udara layaknya burung-burung lepas. Kemampuan Anda untuk berenang di tengah kedalaman lautan bagaikan ikan-ikan itu, amatlah mengagumkan. Namun sampai saat ini Anda tidak mengerti dan mengetahui bagaimana Anda harus berjalan di atas muka bumi ini.”[2]

Mr. Antony Eden, bekas Perdana Menteri Inggris, dalam sebuah orasinya pada tahun 1938 tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya atas sebuah kemajuan peradaban Barat yang spektakuler,

“Hampir-hampir para penghuni bumi, di penghujung abad ini kembali ke sebuah masa barbarisme dan kebrutalan, mereka menjalani kehidupannya bak para penghuni gua. Sungguh suatu keanehan yang menggelikan, betapa Bangsa dan negara-negara maju menghamburkan berjuta-juta poundsterling untuk melindungi diri mereka dari bencana sebuah kecanggihan teknologi yang mengancam dirinya, tetapi tidak melakukannya untuk sebuah kontrol dan pengendalian. Seringkali aku berkata kepada diriku sendiri dengan penuh tanda tanya, “Apa gerangan yang akan terjadi jika komunitas planet diluar bumi berdatangan di tengah-tengah kita?, saya yakin, niscaya mereka akan mendapatkan kita dalam kesibukan mempersiapkan alat-alat canggih untuk saling membinasakan, dan saling bertukar informasi bagaimana kita menggunakan alat-alat jahannam itu.”[3]

Komentar dan ungkapan di atas adalah sebuah ilustrasi dari apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik tabir sebuah kemajuan peradaban yang kini melanda berbagai belahan dunia. Kenyataan ini merupakan buah dari hilangnya keseimbangan antara otoritas rasio dan tatanan etika kemanusiaan, yang bertumpu pada agama. Kelahiran modernitas di Eropa yang menjadi soko guru peradaban Barat saat ini ternyata melahirkan implikasi negatif bagi kehidupan mereka sendiri, dan bahkan berdampak buruk terhadap kemanusiaan global.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang mereka gapai, mengantarkan mereka untuk melebarkan kekuasaannya jauh keluar Eropa. Ekses mereka untuk mendapatkan kebutuhan secara langsung dari negeri produsen, seperti Asia dan termasuk Indonesia semakin membuat kekayaannya berlimpah. Keyakinan mereka akan eratnya ikatan antara pola berfikir yang rasional dan kekayaan tersebut pada akhirnya mengantarkan mereka kepada sebuah kehidupan yang materialis. Kemajuan ilmu pengetahuan ini pula yang melahirkan teknologi canggih. Perkembangan teknologi yang semakin maju ini berakibat pada lahirnya Revolusi Industri di Inggris, yang berorientasi kepada peningkatan produktifitas. Untuk tercapainya hasil produksi yang maksimal, menuntut tersedianya bahan baku yang maksimal serta pasaran yang luas. Hal ini mendorong mereka untuk menguasai bangsa lain di dunia yang berakibat pada lahirnya imperialisme dan kolonialisme.

Kemajuan rasio sebagai hasil dari individu, mendorong mereka untuk menempatkan individu di atas segala-galanya, yang kemudian melahirkan individualisme. Bersamaan dengan itu, muncul pula sebuah pemikiran yang menyatakan persamaan di antara semua orang, yang kemudian mendorong lahirnya revolusi sosial di Prancis dengan sebuah semboyan “Liberte, Egalite, & Fraternite” – kebebasan, persamaan, dan persaudaran. Hal ini merupakan embrio dari sebuah liberalisme. Gabungan antara Individualisme dan Liberalisme melahirkan kapitalisme.

Kapitalisme berakibat pada kesengsaraan yang dialamai oleh masyarakat dilevel bawah (para buruh dan petani), sementara imperialisme dan kolonialisme membawa petaka bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai reaksi terhadap kapitalisme lahirlah sosialisme dan komunisme, yang juga berpondasi pada materialisme yang melahirkan revolusi komunis di Rusia. Imperialisme dan kolonialisme mengakibatkan persaingan kuat antar Bangsa-bangsa Eropa, yang akhirnya mengantarkan mereka kepada meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II.

Paparan kronologis terbaca di atas memberikan sebuah gambaran utuh kepada kita bahwa peradaban yang mempertuhankan akal manusia dan materi telah menghadirkan dan  melahirkan sebuah malapetaka bagi dunia dan kemanusiaan sejagad. Dari sinilah kemudian, kita sangat mengerti mengapa seorang pemikir besar muslim Professor Syed Naquib Al-Attas menyatakan kekhawatiran yang mendalam terhadap dampak yang ditimbulkan oleh peradaban sekuler Barat. Menurutnya, adalah sebuah kenyataan di mana umat manusia menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Namun problem terberat yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini ialah hegemoni dan dominasi kelilmuan sekuler barat yang mengarah kepada eksploitasi kemanusiaan, bahkan pada kehancuran.Peradaban Barat memandang kebenaran fundamental sebuah agama hanyalah sebuah teori.Kebenaran absolute dinegasikan/diabaikan, dan nilai-nilai relative dijadikan standar. Tidak ada suatu kepastian. Konsekuensinya ialah, konsep Tuhan dan akherat dinegasikan, dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur dunia. Manusia dituhankan dan Tuhanpun dimanusiakan. Walhasil paradigm ini melahirkan berbagai problema kemanusiaan sebagai akibat dari kerancauan sistem nilai.

Penegasan Al-Attas di atas mengingatkan kita kepada trauma Barat terhadap otoritas Gereja melalui “mahkamah inquisisinya” yang kemudian melahirkan sikap permusuhan terhadap “Tuhan” dan agama mereka sendiri. Barat melakukan sebuah pelarian dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem yang lainnya : kehidupan yang teosentris kepada kehidupan yang antroposentris. Padahal menurut para ahli dan pemikir peradaban, sejatinya agama merupakan pokok dan pangkal sebuah peradaban dibangun. Oleh karenanya Bernard Lewis menyebut peradaban Barat sebagai “Christian Civilization” dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P. Huntington menyatakan  “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Menurut Christopher Dawson,  “The great religions are the foundations of which the great civilizations rest.”  Di antara empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu.[4]

Dari perspektif inilah peran sebuah agama, apalagi din Islam dapat kita dudukkan dengan baik dan benar. Jika agama, yang menurut para ahli, merupakan pokok dan fondasi utama sebuah peradaban maka, kesimpulan sepadan yang dapat kita pahami pula bahwa kehancuran sebuah agama merupakan tanda yang sangat terang atas hancur dan musnahnya sebuah peradaban. Demikian pula jika agama tersebut terpelihara dengan baik maka peradaban tersebut tentunya akan terpelihara dengan baik pula. Artinya, kebaikan dan kejayaan sebuah peradaban berbanding lurus dengan kebaikan dan kejayaan agama yang menjadi pondasi utamanya.

Pernyataan tersebut di atas secara gamblang dapat kita telusuri dalam rentetan panjang sejarah para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam ketika mereka menyeru umat dan bangsanya untuk menyembah hanya kepada Dzat yang memang berhak dan pantas untuk disembah : Allah U. Iman kepada Allah U merupakan pokok ajaran kenabian yang bertentangan kesyirikan (politeisme) yang menjadi pangkal kerusakan peradaban itu sendiri. Oleh karenanya dakwah tauhidik menjadi grand design dakwah para Nabi dan Rasul yang mulia yang ditegaskan dalam Al-Qur’an  وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ)[5]. Bahkan penciptaan alam, mikro dan makrokosmos juga berporos pada prinsip tauhid seperti yang dinyatakanNya : (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ)[6], juga dalam FirmanNya,( إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ).[7]

Komitmen manusia terhadap prinsip tauhid melahirkan sebuah peradaban yang penuh “barokah” dan tidak destruktif sebagaimana telah penulis tuliskan sebelumnya. Al-Qur’an juga menuturkan kepada kita bahwa kehancuran suatu kaum berbanding lurus dengan pengkhianatan mereka terhadap ajaran-ajaran luhur para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam. Cermatilah beberapa Kalam Ilahi berikut ini: (وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)[8], juga dalam ayat yang lain ,( وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ . فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ . فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ).[9]

Oleh karena itulah kemudian, dalam banyak ayat Al-Qur’an Allah U  memerintahkan kita untuk membaca, mengobservasi dan sekaligus mengambil pelajaran dari kisah kehancuran dan punahnya peradaban masa lalu; (قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ . هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ)[10]; (قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ)[11]; (قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ).[12]

Peran kenabian dalam membangun peradaban Islam berada pada kisaran  ini yang merupakan bagian terpenting konstruksi peradaban tauhidik dengan karakteristik sebagai berikut; Rabbâniyah (Allah Oriented pada dimensi sumber ajaran dan tujuan); insâniyah-‘âlamiyah (universal dan kompatibel dengan aspek kemanusiaan pragmatis); al-‘adl al-muthlaq (berkeadilan, anti tirani dan kezaliman apa dan siapapun); al-tawâzun bayna al-fard wa al-jamâah (keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial); tsabât wa al-tathawwur (kombinasi serasi antara perkara konservatif dan kemajuan zaman). Sebuah peradaban yang berporos pada “mempertuhan” Allah U  dan “memanusiakan” manusia, bukan sebaliknya. Visi peradaban tauhidik ini berlawanan secara diametral dengan paganisme kekinian yang mengeksploitasi kemanusiaan kita.

Visi tauhidik ini berimplikasi lebih jauh pada potret dan orientasi peradaban yang universal dan  kosmopolitan. Dalam struktur peradaban kita, manusia tidak lagi dipandang berdasarkan paradigma etnik dan religio-kultural. Tidak pula dipilah berdasarkan sosio-geografisnya. Satu-satunya parameter yang kompatibel dengan semangat tauhid ialah ketaqwaan yang aktual dalam tataran kehidupan  pribadi, sosial serta berimplikasi positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara; (يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ).[13]

Wajah peradaban tauhidik yang kosmopolitan dan universal ditegakkan atas prinsip-prinsip moral yang menjadi konsensus bersama bagi segenap komunitas yang berada di teritorial Islam. Dalam hal ini, sekali lagi, dalam konteks kemanusiaan Rasulullah r  tidak membeda-bedakan muslim-non muslim. Semua menjunjung tinggi common flatform yang telah disepakati. Lihatlah klausal-klausal yang tertera pada Piagam Madinah (mîtsâq al-Madînah), yang menurut para pakar sejarah dan tata negara merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Keadilan dijunjung tinggi. Hidup egaliter menjadi nuansa keseharian. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pernik-pernik peradaban kosmopolitan dan universal ini hanya dapat dicapai oleh Islam, mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya di dunia. Rasulullah s.a.w. menegaskan kehancuran umat terdahulu karena mempermainkan keadilan. Keadilan meletakkan manusia sejajar, tanpa memandang status dan jabatan. Sabda beliau,( إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ ، وَايْمُ اللَّهِ ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا).[14]

Pada tataran relasi antar-manusia dengan ragam keyakinan yang bebeda, Al-Qur’an Al-Karim mengajarkan kita untuk tidak menjadi masyarakat yang kerdil dan tertutup sebagaimana doktrin rasialisme kaum zionis “the people of God” (sya’bullâh al-mukhtâr). Rasulullah r bersabda, (ألا من ظلم معاهدا أو انتقصه أو كلفه فوق طاقته أو أخذ منه شيئا بغير طيب نفس فأنا حجيجه يوم القيامة).[15] Bahkan dalam tataran keyakinan sekalipun, Islam tak pernah menerapkan ‘paksaan’ dan intimidasi teologis sebagaimana fakta sejarah abad Pertengahan di mana Gereja menistakan sisi kemanusiaan jamaatnya. Islam mengajarkan toleransi yang luhur atas dasar tanggungjawab di hadapan Allah s.w.t. Islam samasekali tidak membenarkan model ritual dan keyakinan mereka, namun mereka dapat menunaikannya secara aman. Tidak ada teror atas simbol keagamaan dan ritual tersebut.( لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ).[16] Juga FirmanNya, (وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ).[17] Demikian pula pada ayat yang sangat popular di masyarakat kita, (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ  ).[18]

Prinsip-prinsip keadilan dan apresiasi yang tinggi terhadap fakta pluralitas  masyarakat telah menjadikan masyarakat profetik Madinah tampil melampaui zamannya yang sarat dengan tribalisme Arab. Ini pula yang berimplikasi pada kohesivitas antar kelompok dan individu, terlebih sesama kaum beriman sebagaimana dicontohkan dalam catatan mu’âkhât (persaudaraan) kaum Muhajirin dan Anshar.Kohesivitas individu dan sosial generasi awal (salaf) di masa Rasulullah s.a.w yang sangat kokoh merupakan pantulan frekuensi  dan basis spiritual yang sama di antara mereka. Modal spiritual (quwwah rûhiyah) ini pula yang dicatat oleh sejarah dalam membangun awal peradaban Islam yang agung. Peradaban dengan visi Uluhiyah dan insaniyah yang sangat kental.

Dakwah Sebagai Hirarki Tertinggi Amal Peradaban

Peran peradaban yang dimainkan oleh Rasulullah r seperti terbaca di atas mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman yang utuh tentang kemuliaan dan keluhuran peran peradaban pada masa kenabian. Sebuah peran yang tak dapat diungguli oleh peran apapun di dunia ini. Hal ini terkait dengan  basis peradaban tauhidik yang “teistik” (menegasikan segala bentuk tuhan yang “terbuat” dan mengafirmasi ketuhanan Allah U semata : لاإله إلا الله).

Membahas hal ini, saya teringat kepada Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, yang mengampu mata kuliah filsafat Islam pada program Pascsarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tempat di mana saya pernah intens belajar bangunan keilmuan atau epistemologi Barat. Beliau termasuk “sedikit” orang yang memiliki komitmen untuk mendudukkan paradigma filsafat dan epistemologi Islam secara adil dan proporsional di tengah-tengah “keterpesonaan” dan kekaguman (ghurur) sebagian besar pemikir dan intelektual muslim Indonesia terhadap paradigma filsafat dan epistemologi Barat yang tidak jarang berimplikasi pada suburnya sikap-sikap inferior dan tidak “pede” dengan peradaban Islam sendiri, bahkan sebagian lagi cenderung mendekonstruksi dan memusuhinya.

Dalam perspektif filsafat ilmu, setiap cabang ilmu yang dihasilkan oleh sebuah epistemology tidak akan mencapai status ilmiah yang sah, kecuali status ontologism obyeknya jelas dan diakui. Sederhananya begini; agar pernyataan saya tentang sebuah buku valid dan diterima dengan baik, terlebih dahulu saya dipersyaratkan untuk mengakui keberadaan buku tersebut (status ontologisnya). Sebab, betapa naifnya jika saya membuat statemen tentang sesuatu yang keberadaan obyeknya sendiri saya tidak tau atau tidak yakin. Artinya, ketika saya berbicara tentang ketuhanan maka, terlebih dahulu saya harus meyakini keberadaan Tuhan itu sendiri, tentunya dalam hal ini Allah U yang saya imani dan yakini sebagai Dzat yang  pantas dan berhak disembah.

Berbeda dengan bangunan keilmuan sekuler Barat yang menafikan hal-hal yang bersifat metafisik (al-ghaybiyat) dan hanya mengakui hal-hal yang terindera dan dapat diobservasi (al-musyahadat). Oleh karena itu, tidak perlu heran jika klasifikasi sains di Barat hanya memasukkan bidang-bidang ilmu yang empiris dan menolak bidang metafisika yang obyek-obyeknya sering dipandang oleh mereka sebagai sesuatu yang tidak riil dan ilusif.[19] Inilah sebuah titik tolak (starting point) di mana Barat membangun peradaban mereka yang mengabaikan factor ketuhanan, bahkan telah rela ‘membunuh”nya. Sebuah peradaban sekuler yang sedikitnya dapat diidentifikasi dengan tiga hal; menafikan relasi alam dengan sang Pencipta; menafikan dan mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual (ruhiyah); dan memandang segala realitas (al-wujud) secara dikotomik.

Membincangkan tentang status ontologis Tuhan sebagai “Pencipta segala yang tercipta” (primacausa) tentunya tidak logis untuk diragukan sedikitpun, karena meragukan wujud Allah U sama saja dengan meragukan dan bahkan menafikan keberadaan alam semesta, termasuk manusia itu sendiri (makhluq) yang tak lain sebagai konsekuensi dari keberadaan Al-Khaliq. Demikian pula sifatNya yang immateri adalah abadi dan segala ciptaanNya akan binasa dan berakhir (وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ).[20]

Dengan status ontologis yang sedemikian agung, riil dan fundamental maka cabang ilmu yang mempelajarinya (tentang ma’rifatullah, yang menjadi pokok misi dan risalah kenabian) tentu saja bukan sekedar sah status keilmuannya, tetapi juga paling mulia dan akan membahagiakan siapa saja yang mengkajinya. Dengan demikian, ma’rifatullah (tauhid) dapat menjadi basis moral ilmu yang tujuan akhirnya tidak lain adalah memperoleh kebahagiaan dalam menuntutnya. Dalam keyakinan para filosof muslim, semakin tinggi status ontologis sebuah obyek ilmu, semakin besar pula ia akan memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang mempelajarinya.[21] Terlebih bahwa dalam bangunan keimanan kita Dialah Allah yang Maha segalanya yang takkan terjangkau dan tertandingi oleh apa dan siapapun jua.

Simaklah penuturan para ‘ulama berikut ini tentang ma’rifatullah sebagai hirarki tertinggi segala ilmu pengetahuan karena keutamaan dan kemuliaan status ontologis obyek kajiannya. Dalam kitab إيضاح الدليل (I/7) ditulis sebagai berikut :

 علم التوحيد علم يعنى بمعرفة الله تعالى والإيمان به ومعرفة ما يجب له سبحانه وما يستحيل عليه وما يجوز سائر ما هو من أركان الإيمان الستة ويلحق بها وهو أشرف العلوم وأكرمها على الله تعالى لأن شرف العلم يتبع شرف المعلوم لكن بشرط أن لا يخرج عن مدلول الكتاب والسنة الصحيحة وإجماع العدول وفهم العقول السليمة في حدود القواعد الشرعية وقواعد اللغة العربية الأصيلة

Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya ihya’ Ihya’ ‘Ulumiddin (VI/357) berkata demikian,

… فإن العلم من أخص صفات الربوبية وهى منتهى الكمال ولذلك يرتاح الطبع إذا أثنى عليه بالذكاء وغزارة العلم لأنه يستشعر عند سماع الثناء كمال ذاته وكمال علمه فيعجب بنفسه ويلتذ به ثم ليست لذة العلم بالحراثة والخياطة كلذة العلم بسياسة الملك وتدبير أمر الخلق ولا لذة العلم بالنحو والشعر كلذة العلم بالله تعالى وصفاته وملائكته وملكوت السموات والأرض بل لذة العلم بقدر شرف العلم وشرف العلم بقدر شرف المعلوم … فهذا استبان أن ألذ المعارف أشرفها وشرفها بحسب شرف المعلوم فإن كان في المعلومات ما هو الأجل والأكمل والأشرف والأعظم فالعلم به ألذ العلوم لا محالة وأشرفها وأطيبها وليت شعرى هل في الوجود شئ أجل وأعلى وأشرف وأكمل وأعظم من خالق الأشياء كلها ومكملها ومزينها ومبدئها ومعيدها ومدبرها ومرتبها وهل يتصور أن تكون حضرة في الملك والكمال والجمال والبهاء والجلال أعظم من الحضرة الربانية التى لا يحيط بمبادى جلالها وعجائب أحوالها وصف الواصفين فإن كنت لا تشك في ذلك فلا ينبغى أن تشك في أن الاطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات هو أعلى أنواع المعارف والاطلاعات وألذها…

Dalam kitab فيض القدير (III/462) :

                ( خيار أمتي علماؤها ) العالمون بالعلوم الشرعية العاملون بها قال تعالى { كنتم خير أمة أخرجت للناس } والعلماء منهم خيار الخيار { يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات } وشرف العلوم على حسب شرف المعلوم حتى ينتهي إلى العلم بالله كما قال المصطفى صلى الله عليه و سلم أنا أعلمكم بالله ( وخيار علمائها رحماؤها ) أي الذين يرحمون الناس منهم فإن أبعد القلوب من الله القلب القاسي ….

Al-Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya مختصر منهاج القاصدين (IV/106) menerangkan kepada kita sebagai berikut :

وكذلك فى القلب غريزة تسمى النور الإلهي، وقد تسمى العقل، وتسمى البصيرة الباطنة، وتسمى نور الإيمان واليقين، وهذه الغريزة خلقت ليعلم بها حقائق الأمور كلها بطبعها، فمقتضى طبعها العلم والمعرفة، وذاك لذتها . وليس يخفى أن العلم والمعرفة، ولو فى شئ خسيس يفرح به، وأن من ينسب إلى الجهل ولو فى شئ خسيس يغتم به . وكل ذلك لفرط لذة العلم، وما يستشعره من كمال ذاته . فان العلم من أحسن الصفات ومنتهى الكمال، ولذلك يرتاح الإنسان بطبعه إذا أثنى عليه بالذكاء، وغزارة العلم، ثم ليس لذة العلم بالحراثة والخياطة كلذة العلم بسياسة الملك وتدبير أمر الخلق، ولا لذة العلم بالشعر والنحو، كلذة العلم بالله تعالى وملائكته وملكوت السموات والأرض، بل لذة العلم بقدر شرف العلم، وشرف العلم بقدر شرف المعلوم، فبهذا استبان أن ألذ المعارف وأشرفها، وشرفها بحسب شرف المعلوم، فإن كان فى المعلومات ما هو الأجل والأكمل والأشرف والأعظم، فالعلم به ألذ العلوم لا محالة وأشرفها .

وليت شعري، هل فى الوجود شئ أجل وأعلى وأشرف وأكمل وأعظم من خالق الأشياء كلها ومكملها . ومزينها ومبديها ومعيدها ومدبرها ومرتبها ؟ ‍‍‍‍‍‍وهل يتصور أن يكون حضرة فى الملك والكمال والجمال والبهاء والجلال أعظم من الحضرة الربانية التي لا يحيط بجلالها وكمالها وعجائب أمورها وصف الواصفين ؟ ‍فينبغي أن تعرف أن لذة المعرفة أقوى من جميع اللذات المدركة بالحواس الخمس، فإن المعاني الباطنة أغلب على ذوى الكمال من اللذات الظاهرة.

Al-Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku yang membahas tauhid dan sifat-sifat Allah sebagai Dzat dengan status ontologis teragung, dalam kitab كشف الأسرار (I/17) dijelaskan sebagai berikut :

…وَقَدْ صَنَّفَ أَبُو حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ أَيْ فِي عِلْمِ التَّوْحِيدِ وَالصِّفَاتِ كِتَابَ الْفِقْهِ الْأَكْبَرِ سَمَّاهُ أَكْبَرَ ؛ لِأَنَّ شَرَفَ الْعِلْمِ وَعَظَمَتَهُ بِحَسَبِ شَرَفِ الْمَعْلُومِ وَلَا مَعْلُومَ أَكْبَرُ مِنْ ذَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ فَلِذَلِكَ سَمَّاهُ أَكْبَرَ وَذَكَرَ فِيهِ إثْبَاتَ الصِّفَاتِ….

Membaca penjelasan para ulama di atas semakin memahamkan kita, betapa agungnya peran peradaban yang dimainkan oleh Nabi Agung r yang dalam pengakuan para ahli sejarah berikutnya, baik dari kalangan muslim maupun muslim, tak tertandingi oleh tokoh dan perdaban besar apapun di dunia. Bahkan mereka menyatakan bahwa Nabi Muhammad r telah berhasil melahirkan sebuah peradaban agung dalam kurun waktu yang sangat singkat, bahkan melampaui realitas zaman kelahirannya sendiri. Inilah peran peradaban Qudwah  agung r  yang dijelaskan oleh Allah U sendiri dalam kitabNya : (قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ )[22]; (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ . قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ)[23]; (الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ . اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ).[24]

Bahkan komunitas peradaban yang telah dibangun oleh Rasulullah r digambarkan oleh Allah U sebagai umat terbaik yang diberi amanah melakukan transformasi di muka bumi ini, menjadi saksi peradaban atas semua umat; (وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)[25]; (كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ).[26]  juga frimanNya,( وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا).[27]

Tentang keluhuran peradaban Islam, Osman Bakar, dalam bukunya Islam Dialog Peradaban : Menguji Universalisme Islam dalam Peradaban Barat dan Timur, mengatakan demikian,

“Gagasan ‘bangsa tengah’  merupakan konsep kunci untuk memahami sifat dan identitas peradaban Islam. Dalam Islam, kesadaran peradaban (civilization consciousness) berakar mendalam dalam ide-ide Qur’ani tersebut sebagai keturunan manusia pada umumnya, humanitas umum, kebaikan universal manusia, universalitas kasih Tuhan terhadap ras manusia, kearifan pluralitas etnik dan cultural, kooperasi inter-kultural dalam upaya mewujudkan kebaikan umum bagi seluruh manusia, keadilan social global, tanggungjawab umum untuk melindungi planet bumi, dan semua itu berakar dalam ide “pertengahan” sebagaimana terbaca pada kutipan ayat di atas…Seluruh elemen kesadaran peradaban fundamental tersebut ditekankan oleh al-Qur’an yang tidak mengisyaratkan nada partikularisme tetapi lebih pada nada universalisme”[28]

Itulah gambaran singkat sebuah peradaban yang bersendikan agama dan spiritualitas wahyu, yang dalam bahasa Arnold Toynbee, seorang pakar sejarah disebut sebagai “kepompong” yang menjadi cikal bakal tumbuhnya sebuah peradaban. Dalam proses kebangkitan dan kepunahan peradaban-peradaban selalu ada kelompok minoritas yang kreatif yang dengan modal spiritual yang tajam (deep spiritual) atau motivasi keagamaan (religious motivation) akan terus bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru. Dalam hal ini spiritual menjadi sesuatu yang sangat sentral dalam mempertahankan eksistensi sebuah peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (Civilizations that lost their  spiritual core soon fell into decline).[29]

Rasulullah r telah mengajarkan kepada kita bagaimana membangun sebuah peradaban yang penulis sebut sebagai peradaban tauhidik, yang menjadi sandingan peradaban sekularistik yang serba dikotomik. Beliau mengawalinya dengan membangun “creative minority” di sebuah tempat tinggal sederhana yang kita kenal sebagai “Darul Arqam”. Beliau menempa manusia-manusia peradaban tauhidik  di bawah intimidasi dan siksaan masyarakat paganis Makkah yang sangat menyakitkan. Beliau mendidik para sahabat di tengah tawaran-tawaran dunia yang sangat menggiurkan.

Cuplikan narasi sejarah di masa awal kenabian menjelaskan pandangan hidup Islam ”Islamic worldview”  (التصور الإسلامي) yang sangat khas. Yaitu, persepsi seorang muslim dan masyarakat nya  yang khas tentang yang “wujud”, dimulai dari konsep tauhid (syahadat) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia yang berorientasi pada Allah s.w.t semata. Sebab syahadat adalah pernyataan moral yang mendorong kita untuk melaksanakannya dalam kehidupan ini secara menyeluruh dan integral. Inilah keyakinan asasi yang terpatri kokoh dalam hati yang dengannya kelompok minoritas sahabat tersebut memberi makna bagi kehidupan dan alam semesta dibawah naungan spiritualitas dan wahyu Ilahi yang semakin kita rasakan di tengah arus deras peradaban yang secular dan ateistik.

Beratnya tantangan dalam membangun peradaban tauhidik melalui proses melahirkan generasi yang “tidak banyak” itu,merupakan tugas yang teramat mulia. Wajar jika kemudian orang-orang yang terlibat di dalamnya diapresiasi oleh Rasulullah  r dalam banyak sabda beliau sebagai orang yang memiliki imbalan tanpa akhir, jariyah. Sama halnya dengan orang-orang yang mengkhianati peradaban dengan melakukan tindakan-tindakan sesat dan merusak di”jamin” sebagai pemilik dosa multi-level yang tak kan terhenti. Beliau menegaskan dirinya dalam sabdanya yang shahih sebagai orang yang tak pernah mewariskan emas dan dirham, simbol kemewahan duniawi. Beliau mewariskan kepada kita soko guru peradaban tauhidik : Ilmu!. Para pewaris kenabian, pembangun peradaban tauhidik adalah komunitas istimewa yang selalu dido’akan kebaikan oleh para malaikat, penduduk langit dan bumi, bahkan semut-semut di kegelapan lubang dan ikan-ikan di kedalaman samudera. Itu dikarenakan mereka mengambil dan memainkan peran peradaban yang berketuhanan. Simaklah wejangan-wejangan Qudwah rkita berikut ini :

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين و إنما أنا قاسم و الله يعطي و لن تزال هذه الأمة قائمة على أمر الله لا يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله[30]

عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:  من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا[31]

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضا لطالب العلم وإن طالب العلم يستغفر له من في السماء والأرض حتى الحيتان في الماء وإن فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب إن العلماء هم ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر[32]

إن الله وملائكته وأهل السموات والأرض حتى النملة في جحرها وحتى الحوت ليصلون على معلم الناس الخير[33]

                Dari perspektif seperti inilah kita dapat memaknai tugas dakwah sebagai keluhuran budi  dan kemuliaan yang menempati hirarki tertinggi dalam sebuah amal dan karya peradaban. Tak heran bila kebaikan akan selalu menjadi karakter dasar mereka. Prestasi peradaban yang mereka dedikasikan dijamin oleh Nabi sebagai kekayaan yang takkan tertandingi dan ternilai oleh harta dunia apapun.

Dari sini pula kita paham dengan baik bahwa perkataan dan perbuatan apapun yang mengkhianati amanah peradaban sebagaimana penulis tuliskan di atas merupakan yang amat dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ. إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ. وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ. وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآَوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (الأنفال : 20-27)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (النساء : 58)

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا ».(مسلم)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ » (البخاري)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّهُ قَالَ : أَفَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْبَرَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَقَرَّهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا كَانُوا ، وَجَعَلَهَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ ، فَبَعَثَ عَبْدَ اللهِ بْنَ رَوَاحَةَ ، فَخَرَصَهَا عَلَيْهِمْ ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ : يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ ، أَنْتُمْ أَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَيَّ ، قَتَلْتُمْ أَنْبِيَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَّاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ ، قَدْ خَرَصْتُ عِشْرِينَ أَلْفَ وَسْقٍ مِنْ تَمْرٍ ، فَإِنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَبَيْتُمْ فَلِي ، فَقَالَوا : بِهَذَا قَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ ، قَدْ أَخَذْنَا ، فَاخْرُجُوا عَنَّا.(رواه أحمد)


[1] Surah al-jum’ah/62:2

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

[2] Abu-l-Hasan An-Nadwy, Madza Khasira-l-“alam bi-n-Khitaathi-l-Muslimin, Daru-l-Kitab Al-Araby, Beirut, 1984, Cet.IV, h:219

[3] Ibid, h:223

[4] Sebagaimana dinukil oleh Dr. Adian Husaini dalam, Upaya Membangun Peradaban Islam dan Tantangannya” dari Samuel P. Huntington, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York: Touchtone Books, 1996), 47; Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993).

[5]  “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul itu).” [Al-Nahl : 36].

[6] “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.( al-Dzariyat : 56)

[7]  “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allahyang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf : 54)

[8] “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96)

[9]  “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am : 41-44)

[10]  ”Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah (hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul); Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Alu ‘Imran : 137-138)

[11] “Katakanlah: “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.”(Al-Naml “ 69)

[12] Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”(Al-Rum:42)

[13] “Hai manusia, Sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat/49:13).

 

[14]Sesungguhnya  yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian ialah perilaku mereka yang hanya menjatuhkan hukuman terhadap pencuri (koruptor) dari kalangan masyarakat lemah dan tidak memberikan sangsi apa-apa terhadap pencuri (koruptor) dari kalangan elit. Demi Allah,  jika Fathimah anaknya Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya.”(HR Bukhari & Muslim).

[15]Ketauilah barang siapa yang menzhalimi non Muslim yang telah melakukan perjanjian atau merendahkannya, membebaninya di luar batas kemampuan, mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku menjadi musuhnya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).

[16]Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tak kan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah/2:256).

[17]Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am/6:108).

[18] Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,  aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.  Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,  dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.  Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”(Al-Kafirun/109:1-6)

 

[19] Dr. Mulyadi Kartanegara, Pengantar epistemology Islam (Bandung : Mizan, 2003), Cet. I, hal. 42-43

[20] Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.(Al-Qashsash : 88)

[21] Dr. Mulyadi Kartanegara, Pengantar…hal. 45

[22] Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.”( Al-A’raf : 158)

[23] Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya).”( Al-Anbiya’ : 107-108)

[24] Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih (Ibrahim :1-2)

[25] Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munka]; merekalah orang-orang yang beruntung.”( Alu ‘Imran : 104)

[26]  “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Alu Imran : 110)

[27]  “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..( Al-Baqarah : 143)

[28] Osman Bakar, : Menguji Universalisme Islam dalam Peradaban Barat dan Timur, Terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), Cet. Pertama, hal. 5-6

[29] Lihat, Adian Husaini, Upaya Membangun…hal. 4

[30] Shahih Targhib wa al-Tarhib

[31] HR Muslim

[32] HR Turmudzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.

[33] HR Turmudzi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota