MENATA NIAT, MERAIH KEBAIKAN DUNIA & AKHERAT

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

( رواه البخاري و مسلم)

Terjemah makna hadits:

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab RA. berkata: Aku mendengar Rasulullah e bersabda, “Semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Barangsiapa (berniat) hijrah  karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah (bernilai) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) untuk mendapatkan  dunia atau demi seorang wanita yang ingin dinikahinya maka (nilai) hijrahnya adalah sebagaimana yang ia tuju itu.” (HR. Bukhari-Muslim).

Perawi Hadits :

Umar bin Khathab t lahir 13 tahun setelah kelahiran Rasulullah e. Masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian. Hal tersebut berawal ketika ia mendapatkan informasi bahwa saudara perempuannya, Fathimah binti Khaththab beserta suaminya, Sa’id bin Zaid, telah memeluk Islam. Umar bin Khathab bermaksud memberikan sanksi atas ke-Islam-an keduanya. Setibanya di kediaman saudarinya,  Fathimah membacakan Al-Qur’an di hadapan Umar bin Khathab. Seketika hatinya luluh, lalu pergi menemui Rasulullah e dan menyatakan masuk Islam. Tak lupa Umar bin Khtahthab menyempatkan diri menyambangi pusat pertemuan suku Quraisy untuk memproklamirkan ke-Islam-annya. Para sahabat menyambutnya dengan penuh gembira.

Rasulullah e menyebut Umar bin Khathab dengan julukan “Abu Hafsh” (ayahnya singa) karena sifat keberanian dan ketegasannya dalam menegakkan kebenaran. Ia juga terkenal dengan gelar “al-Faruq”karena keIslamannya menjadi tonggak sejarah yang monumental untuk membedakan antara Haq dan bathil; antara Islam dan Jahiliyah; antara cahaya dan kegelapan paganisme Arab. Umar bin Khathab  tercatat sebagai salah seorang dari sepuluh orang sahabat yang dijamin oleh Rasulullah e sebagai ahli surga; di samping menjadi salah satu dari empat Khulafa’ al-Rasyidun yang terkenal dengan sikak adilnya. Tak kurang dari 539 hadis Rasulullah kita warisi dari sahabat agung ini. Cukuplah kebesarannya bagi kita sebagaimana doa Rasulullah : “Ya Allah, Muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua lelaki yang Engkau sukai, yaitu Abi Jahl atau Umar bin Al-Khattab”. Ibnu Abbas berkata; Maka yang lebih dicintainya adalah Umar”(HR Turmudzi). Demikian pula, Abdullah Ibnu Mas’ud memberikan kesaksiannya: “Islamnya Umar adalah sebuah kemenangan; hijrahnya adalah pertolongan dan kepemimpinannya adalah rahmat bagi kaum muslimin.”

Kesyahidannya di jalan Allah U  pada tahun 23 H menjadi tanda kemuliaannya di sisiNya. Saat itu,  ia mengimami kaum muslimin menjalankan shalat fajar dan Abu Lu’lu’ al-Majusi menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Imam Bukhari dalam kitab shahih-nya meriwayatkan dari Ummul Mu’min Hafshah, bahwa Umar bin Khathab di masa hidupnya berdo’a, “Ya Allah anugerahkan karuniaMu kepadaku untuk syahid di jalan-Mu dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul -Mu”.

Kedudukan Hadits :

Imam Syafii berkata : “Hadist ini masuk ke dalam tujuh puluh bab mengenai Fikih”. Imam Syafii dan Imam Ahmad mengatkan bahwa  hadits ini merupakan sepertiga dari keseluruhan ajaran Islam (ilmu) karena perbuatan manusia terkait tiga hal; hati, lisan dan anggota badan. Abu Dawud berkata,”Hadits ini setengah dari ajaran Islam. Karena  agama bertumpu pada dua hal : sisi lahiriah (amal perbuatan) dan sisi batiniah (niat).”  Karenanya mereka menganjurkan agar memulai karya tulis dengan hadits ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih al-Bukhari. Imam Nawawi mengawali tiga kitabnya dengan hadits ini : Riyadl al-Shalihin, al-Adzkar dan al-Arba’in al-Nawawiyah.

 

 

 

  1. A.     Permasalahan Akidah

 

1)   Pangkal diterimanya segala amal dan ketaatan ialah “ikhlas”.

Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan yang besar (bagi manusia) menjadi kecil (di hadapan Allah) juga karena niat.”(Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam).

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” (Al-Bayyinah/98 :5)

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ . أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab [Al Quran] dengan [membawa] kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih [dari syirik]. (Al-Zumar/39:2-3)

Dua penyakit hati yang menghambat dan merusak keikhlasan :

Pertama, ujub. Sufyan Ats-Tsauri mendefinisikan ujub sebagai perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya.

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman: “Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!”(HR. Muslim)

Kedua, riya’. Fudlail bin ‘Iyadl menerangkan sebagai berikut : “Meninggalkan amal karena manusia adalahriya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah apabila Allah menyelamatkan kita dari keduanya.”

Dalam hadis qudsi, Abu Hurairah t meriwayatkan, sesungguhnya Nabi e bersabda, Allah Y berfirman :

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَن عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

 ‘Aku adalah orang yang paling tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal ibadah yang ia menyekutukan selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku meninggalkannya dan sekutunya.” (HR Muslim)

Ikhlas merupakan qutub dan poros utama agama Islam,

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي

Katakanlah: “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (Al-Zumar/39:14), karenanya Allah mencela orang-orang yang ingin dilihat dalam shalatnya :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ.الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya yaitu orang-orang yang berbuat riya.” (Al-Ma’un/107:4-6).

    Perilaku seperti ini dikecam oleh Allah sebagai karakter orang-orang munafik:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”(Al-Nisa’/4:142)

          Demikian pula orang-orang yang bersedekah hanya karena manusia semata :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah/2:264)

Sikap mengharap pujian dari manusia  disebut pula sebagai Syirik khafiy. Yaitu kesyirikan yang samar atau terselubung seperti yang digambarkan oleh Rasulullah dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri berikut ini :

عَنْ أَبِي سَعْيْدٍ الـخـُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَكَّرُ المَسِيْحَ الدَّجَّالَ. فَقَالَ:} أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْـمَسِيْحِ الدَّجَّالِ ؟{ قَالَ: قُلْنَا بَلىَ. فَقَالَ } الشِّرْكُ الْـخَـفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتـَهُ لِماَ يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ {.

Suatu ketika, kata Abu Sa’id al-Khudri, kami sedang mengingat-ngingat tentang al-Masih al-Dajjal, Rasulullah mendatangi kami lalu bertanya: “Bagaimana sekiranya aku beritau kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti (terjadi) pada kalian daripada Al-Masih Ad-Dajjal?, Kami menjawab, Ya, wahai Rasulullah!. Beliau bersabda, “Syirik yang samar, seperti seorang yang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang melihatnya”, (HR.Ahmad; komentar Imam Albani : hadis hasan).

Dalam riwayat al-Hakim Rasulullah  pernah mengilustrasikan syirik seperti ini lebih samar dari semut yang merayap di atas batu karang hitam di tengah malam yang gelap- gulita.

Dalam hadis yang pertama ini, Rasulullah ‘alaihissalam memetakan manusia beradasarkan orientasi hidupnya menjadi dua kelompok; pertama, Allah dan Rasul oriented yang disimbolisasi dengan hijrahkepada Allah dan Rasulullah. Semata berharap kebaikan dan nilai di sisi Allah dan Rasul-Nya; dan, kedua,berorientasi sempit jangka pendek yang disimbolkan dengan dunia dan wanita. Dalam ungkapan yang lain, kelompok yang pertama ialah orang-orang yang hidup dengan visi jauh ke depan, melampau batas-batas dunia saat ini. Mereka tidak terkecoh dengan jebakan-jebakan sesaat yang bisa jadi berakhir dengan kerugian dunia maupun akherat. Sementara kelompok kedua merupakan orang-orang yang pragmatis dan oportunis yang lupa diri. Mereka disebut sebagai “orang fasiq”; intelek, mengetahui kebenaran namun ia mengkhianatinya :

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr/59:19).

Model orientasi hidup kelompok kedua dapat dikategorikan sebagai pandangan hidup sekularistik, meskipun barangkali, oknum yang bersangkutan tidak menganut Sekularisme sebagai ideologinya. Namun praktek kehidupannya sangat sekuler. Hal ini tak lepas dari pengaruh dan dominasi peradaban Barat yang semakin besar di era globalisasi. Bagi kaum Muslim, globalisasi bukan hanya melahirkan ketimpangan global dan eksploitasi di bidang politik dan ekonomi, tetapi, juga mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam. Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Paham-paham itu jelas langsung menusuk jantung ajaran Islam.

Muhammad Asad (Leopold Weiss), dalam bukunya, Islam at The Crossroads (Kuala Lumpur: The Other Press), mengingatkan kita bahwa Peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno.  Konsep “keadilan” bagi Romawi, adalah ”keadilan” bagi orang-orang Romawi saja.  Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’ (tidak beragama). Sudah barang tentu, orang yang model dan orientasi hidupnya seperti ini takkan mampu menunaikan tugas mulia : Hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya!.

Tak berlebihan jika kita tegaskan kembali bahwa syarat utama menggapai hijrah yang paripurna dalam hidup ini ialah keteguhan dan kejujuran kita dalam melakukan desekularisasi dalam keseluruhan dimensi kehidupan ini. Sebagaimana Allah mengajarkan kita sebuah komitmen dengan nafas dan jiwa tauhid yang otentik.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am/6:162-163)

2)   Mensucikan niat dan mengorientasikannya kepada Allah semata bermakna bahwa, hijrah kepada Allah dan rasulNya tidak bermakna apa-apa dan tidak bermanfaat bagi kita selama kita belummembebaskan diri dari kungkungan nafsu dan syahwat. Nah, di sini kita memahami mengapa “hukum bertahap” (sunnah tadarruj) tidaklah berlaku dalam perkara-perkara keimanan (aqidah) yang mencakupiman billah, para Malaikat, Kitab-KitabNya, dan Hari Kemudian (kiamat). Termasuk pula perkara-perkara ghaib yang masuk dalam kategori sam’iyyat (perkara keimanan yang wajib diterima murni berdasarkan informasi wahyu semata).

Karenanya, dalam sejarah hidupnya, Rasulullah tidak mengenal “negosiasi” ataupun kompromi keimanan meskipun berbagai ancaman, boikot sosial, politik  dan ekonomi, bahkan konspirasi pembunuhan menghadang beliau. Semuanya dijawab dengan tegas :

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ. وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Al-Kafirun:1-6)

  1. B.      Akhlaq dan Fikih Dakwah

 

1)   Rasulullah r mengajarkan kita untuk memperhatikan dan mempraktekkan skala prioritas dalam berdakwah; memulainya dengan perkara-perkara yang mendasar dan fundamental dalam kehidupan ini.

2)  Tujuan-tujuan dakwah harus dicapai dengan cara-cara yang dibenarkan oleh Allah dan rasulNya. Islam tidak mengajarkan kita doktrin dan nalar masivilis ”al-ghayah tubarriru al wasilah” (tujuan dicapai dengan menghalalkan segala macam cara).

3)  Rasulullah mengajarkan kita agar bersikap empati kepada obyek dakwah; menjaga perasaan dan kehormatan sosialnya. Sebagai seorang yang sangat dekat dengan umatnya, tentu Rasulullah mengetahui ‘oknum’ yang hijrah atas dasar kecintaan kepada seorang wanita (muhajir Ummi Qays), tetapi dalam keterangannya Rasulullah tetap menyamarkan person yang dimaksud dengan ungkapan “seseorang”.

4)  Seorang da’i diharus membuat perencanaan dakwah yang baik, menimbang antara sisi-sisi positif dan negatif, manfaat-mudlarat secara adil dan proporsional sehingga tidak melahirkan dampak buruk bagi Agama, diri dan umatnya.

  1. C.     Masalah Fiqhiyah

 

1)    Niat merupakan permasalahan pokok dan fundamental dalam seluruh ibadah kita. Niat berfungsi membedakan antara hal-hal yang bersifat adat, rutinitas keseharian kita dengan ibadah murni (mahdlah). Demikian pula niat dapat membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.

2)   Niat bersemayam di hati (qalbu). Jika seseorang berniat dalam hati untuk menunaikan shalat atau puasa ataupun ibadah-ibadah lainnya, tanpa di-lafazkan, maka ibadah tersebut sah.

3)   Meskipun terdapat ulama (sebagian ulama di kalangan Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) yang menganjurkan untuk melafazkan niat dengan lisan agar lebih memantapkan hati, kami berkeyakinan niat tidak perlu dilafazkan karena beberapa alasan berikut ini :

  1. Tidak didapatkan riwayat bahwa Rasulullah, seorang Sahabat ataupun Tabi’in yang melakukan hal tersebut.
  2. Sejatinya niat sebelum dilafazkan sudah jelas berada dalam hati kita. Maka, ketika niat tersebut dilafazkan seolah-olah kita hendak mengadakan sesuatu yang sudah pasti adanya di dalam hati (tahshil al-hashil). Hal ini tidak perlu dilakukan dalam agama. Memaksakan diri untuk mewujudkan sesuatu yang pada dasarnya sudah wujud dapat mengantarkan kita kepada sikap“was was”; bisikan yang sangat halus dalam diri dan membuat kita terjebak pada keraguan.

4)       Bagian hadis Rasulullah yang berbunyi,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“…dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”

menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan “niyabah” (mewakilkan) dalam ibadah dan niat ibadah tersebut, kecuali terdapat dalil sahih yang menerangkannya seperti; pembagian zakat, penyembelihan dan pembagian daging hewan kurban (udlhiyah), haji badal.

5)     Jika seseorang menunaikan ibadah seperti shalat, wudlu atau puasa, lalu ia membatalkan niatnya di tengah-tengah ibadah tersebut, maka semua ibadah tersebut batal.

6)     Ketentuan dan implikasi niat dalam bersumpah (aiman) :

  1. Pernyataan sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah (yamin al-laghwi). Ibnu Abbas mendefinisikannya sebagai perkataan seseorang di tengah-tengah ucapannya kalimat “wallahi”namun tidak dimaksudkan sebagai sumpah dan tidak pula menghendakinya atau ia sedang bercanda. Namun merupakan kebiasaan umum dalam bertutur yang tidak dipahami sebagai sebuah sumpah. Dalam hal ini ia tidak terkena kewajiban menunaikan “kaffarah” (denda).

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Al-Baqarah/2:225).

  1. Hal serupa dengan permasalahan di atas (tidak perlu menunaikan kaffarah) ialah seseorang yang bersumpah namun diiringi dengan kalimat “istitsna’” (insya Allah). Umpama, seseorang berumpah dan berkata, “Demi Allah besok saya akan datang ke rumahmu, insya Allah!”.

Jika kalimat “insya Allah” memang diniatkan untuk pengecualian sumpahnya, jaga-jaga  dan waspada jika ada halangan dan aral yang melintang, maka ia terbebas dari kaffarah. Beda halnya jika kalimat “insya Allah” dimaksudkan untuk sekedar “tabarruk” (mengharapkan keberkahan Allah semata), sementara ia sungguh-sungguh bersumpah. Maka, ketika ia tidak memenuhi sumpahnya untuk datang ke rumah sahabatnya tadi, wajib baginya untuk menunaikan kaffarah sumpahnya.

  1. D.    Masalah Sosial-Kemasyarakatan

Penggunaan kata “ امْـرُؤٌ ” dalam kalimat “وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى” (“…dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan”), menunjukkan makna yang sangat esensial dan mendalam karena kata ini mencakup laki-laki dan perempuan secara adil dan sejajar; tidak bias jender. Hal ini menegaskan kedudukan mulia seorang perempuan dalam pandangan Islam. Perhatikan ayat berikut ini :

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (al-Nisa/4:124)

Dalam memainkan peran sosial, Al-Qur’an mendudukan laki-laki dan perempuan sebagai patner yang seimbang dan serasi serta  memiliki keutamaan yang sama di sisi Allah :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (al-Tawbah/9:71-72)

Agar kita memahami pandangan Islam terhadap perempuan dengan baik, marilah kita mencermati dan membandingkannya dengan konsepsi perempuan dalam pandangan bangsa dan peradaban berikut ini :Peradaban Yunani. Pada masa-masa awal, secara moral, kaum perempuan dipandang rendah dan tidak mempunyai hak yang dijamin oleh hukum. Berdasarkan mitologi Yunani, perempuan dikanal sebagaiPandora yang merupakan sumber dari ketidakberuntungan dan penyakit. Bangsa Yunani memperlakukan perempuan tidak secara utuh; dan dalam tingkatan menmpati urutan yang terendah. Perkembangan peradaban dan pengetahuan di Yunani tidak banyak mempengaruhi kaum perempuan, meskipun lebih baik dari masa-masa awal sebelumnya. Kaum perempuan tetap menjadi ratu padi dalam rumah tangganya, tugasnya dibatasi dengan empat dinding dan dikurung di dalam rumah. Pandangan ini banyak mempengaruhi Yahudi dan Kristen.

Peradaban Romawi. Tradisi sosial di Romawi mengakui laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Kewenangan penuh ini mencakup kewenangan untuk memperjualbelikan, mengusir, menyiksa bahkan sampai tingkat membunuh kaum perempuan. Sementara, beberapa kalangan kaum Yahudi menganggap kedudukan seorang perempuan seperti pelayan. Sang ayah memiliki hak penuh untuk menjualnya.Jika memiliki saudara laki-laki hak warisannya hilang, kecuali diberi secara suka rela oleh ayahnya. Orang Yahudi menganggap kaum perempuan dilaknat karena menyebabkan Adam diusir dari surga. Dalam kitab Taurat tertulis,”Perempuan itu lebih pahit dari kematian, orang sholeh di hadapan Allah akan selamat dari tipu dayanya, tapi hanya satu di antara seribu yang selamat, tetapi di antara seribu tidak ada seorang wanitapun yang selamat.”

Eropa Kristen mempunyai doktrin dasar bahwa perempuan merupakan ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Perempuanlah yang menjerumuskan laki-laki ke dalam dosa dan kejahatan serta menuntunnya ke neraka. Seluruh penyakit dan kesulitan berasal darinya. Kecantikan dan keindahannya merupakan sumber godaan setan. Ia harus menebus dosa lantaran perempuan bertanggungjawab atas segala ketidakberuntungan di dunia ini. Tertullian (150 M), Bapak Gereja pertama menerangkan doktrin Kristen sebagai berikut :”Wanita yang membukakan pintu bagi masuknya godaaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hokum Tuhan, dan membuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan.”

Eropa Modern. Pada abad ke-18, para Filosof Eropa mulai menyuarakan hak-hak individu dan kebebasan serta menyerang system anti-sosial mengenai moralitas dan kehidupan yang dibawa oleh oknum-oknum tertentu mengenai doctrinal Kristen yang sangat feodal. Hal ini merupakan buah renaisans Eropa yang memuluskan jalan Revolusi Prancis dan sebagai permulaan kehidupan modern yang doktrinnya dapat disimpulkan pada tiga hal pokok; persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan (perhatikan gerakan feminisme radikal); kebebasan wanita di bidang ekonomi; dan, kebebasan bercampur antara laki-laki dan perempuan.

  1. E.     Sudut Pandang Keimanan Dalam Politik

 

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ

Barangsiapa (berniat) hijrah  karena Allah dan Rasul-Nya

1)    Kandungan hadis di atas mengajarkan kita bahwa Nasionalisme yang kini banyak disuarakan oleh sebagian pihak, secara hakiki, bukanlah sebuah ikatan yang kokoh bagi persatuan manusia dalam hidupnya. Bahkan tanah air yang sesungguhnya bukanlah batasan-batasan tanah ataupun geografis yang seringkali membuat manusia saling menumpahkan darah. Hendaklah kita memiliki kesadaran emosional-spiritual bahwa tanah air kita yang sejati ialah belahan bumi manapun yang memiliki makna tepat dan strategis untuk menegakkan hukum-hukum Allah dan dakwah kepadaNya, tanpa terikat dengan batasan-batasan wilayah tertentu.

Di sini, kita menyadari pentingnya sudut pandang keimanan dalam ranah politik, kapan dan di manapun kita berpijak. Negeri kita yang sesungguhnya ialah negeri di mana kita dapat menjunjung tinggi syiar-Nya; tanda-tanda keagungan Allah berupa syariat dan ajaran-ajaranNya. Dengan perspektif imani ini, terlihat jelas, bahwa Makkah, umpamanya, sekalipun ia merupakan tanah yang dimuliakan oleh Allah sejak mula diciptakanNya langit dan bumi, bukanlah tanah air seorang muslim selama Makkah tidak kondusif untuk menegakkan syiar-syiar itu.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan hal ini dengan baik. Kata beliau, kekufuran, keimanan ataupun kefasikan yang disematkan kepada tempat tertentu sehingga disebut sebagai  darul kufr, darul imanataupun darul fisq, bukanlahsuatu sifat yang bersifat permanen, tetapi sangat tergantung dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Jika suatu daerah dihuni oleh orang-orang yang beriman dan menegakkan syariat Allah, maka daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai darul iman pada masa itu, atau sebaliknya. Hal seperti ini berlaku pula pada diri seseorang yang melakukan dan menunjukkan kekufuran, keimanan ataupun kefasikan pada masa dan tempat tertentu. Mari kita perhatikan ayat berikut ini :

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaiankelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Al-Nahl/16:112)

Para Mufassir menerangkan bahwa ayat tersebut menunjuk kepada Makkah ketika berada dalam kungkungan orang-orang kafir, meskipun secara qodrati Makkah merupakan tanah suci yang terbaik dan paling dicintai oleh Allah dan RasulNya. Rasulullah memberi kesaksian sebagai berikut,

وَاللهِ إِنَّكِ لَـخـَيْرُ أَرْضِ اللهِ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Demi Allah ! Sesungguhnya engkau (wahai Makkah) sebaik-baik bumi Allah bagi Allah dan rasul-Nya.”

Meskipun demikian, berdiamnya Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah tentu dapat dikatakan lebih baik daripada Makkah karena Madinah merupakan “daerah alternatif” dan jauh lebih kondusif untuk menegakkaan ajaran-ajaran Allah dan disebut sebagai Darul Hijrah.

Sikap istiqamah dalam mempertahankan kebenaran dan memperjuangkan agama Allah dalam keadaan terdesak seperti yang ditunjukkan dalam peristiwa hijrahnya Rasulullah dan para sahabat yang mulia dikategorikan sebagai “ribath”/murabathah”; berdiri kokoh mempertahankan din ketika musuh menyerang kita. Inilah makna aktual dari ajaran Rasulullah di bawah ini :

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِى كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِىَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ

 “Ribath sehari semalam di jalan Allah lebih baik dari pada puasa dan shalat malam sebulan  penuh; dan barangsiapa mati dalam keadaan (melakukan) ribath maka pahala amal yang telah dilakukannya terus mengalir baginya; ia dianugerahi rizki dari surga dan ia selamat dari fitnah (HR Muslim).

Abu Hurairah r.a. berkata, “Sungguh melakukan ribath satu malam di jalan Allah lebih aku sukai dari pada shalat malam pada lailatul qadari di sisi hajar aswad.”

Kesimpulannya, belahan bumi dan negeri terbaik bagi kita, orang beriman, ialah tempat di mana kita dapat menjadi lebih taat kepada Allah dan RasulNya. Suatu ketika Abu Darda’, sahabat Rasulullah, menulis surat kepada Salman Al-Farisi, “Mari segera menuju tanah yang dimuliakan (al-ardl al-muqaddasah)!”.Dengan tegas Salman Al-Farisi menjawabnya :

إِنَّ اْلأَرْضَ لاَ تُــقَدِّسُ أَحَـــدًا وَ إِنَّمَـا يـُـقَــدِّسُ اْلعَبْدَ عَمَلُهُ

Sesungguhnya bumi itu tidak dapat mensucikan seseorang

dan hanyalah ‘amal (ibadah) yang dapat menjadikan seorang hamba itu suci

 

2)     Seorang muslim sejati akan memaknai hijrah secara aktif dan produktif dalam sikap meninggalkan kemaksiatan dan perbuatan dosa; termasuk pula mengambil jarak dari orang-orang yang gemar melakukan perbuatan tersebut secara sadar atau merendahkan makna beragama, bahkan barangkali cenderung melecehkannya. Tentu sikap sedemikian tidak dilakukan secara sepihak, tetapi secara aktif melakukan berbagai upaya dan usaha  amar ma’ruf-nahi munkar. Allah berfirman :

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam semuanya (Al-Nisa’/4:140)

Sebaliknya, jika ia menikmati pemandangan munkar tersebut; berpangku tangan dan tidak pula melakukan ikhtiar menuju perubahan ke arah kebaikan (hijrah), hendaknya segera menyadari bahwa sikap tersebut dicela oleh Allah dalam ayat berikut ini :

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(Al-Nisa;/4:97)

Hijrah yang dilakukan dengan ikhlas takkan sia-sia di hadapan Allah. Jaminan kehidupan yang lebih baik dan lapang dijanjikan oleh Allah (an-nisa’ :100):

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. .”(Al-Nisa;/4:100)

3)     Kata sambung “dan” (bukan “atau”) pada bagian hadis “Barangsiapa (berniat) hijrah  karena Allah dan Rasul-Nya…” menunjukkan bahwa hijrah yang kita lakukan sejatinya bukan kepada Muhammad sebagai “personal” karena beliaupun juga makhluk biologis seperti kita pada umumnya (قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ). Namun, hijrah di sini ialah hijrah kepada Allah dan Syariat-Nya yang telah disampaikan melalui lisan manusia terpilih sealam semesta ini, Penghulu para Nabi dan Rasul, nabi kita Muhammad.

Seorang pemimpin yang beriman, ketika menunaikan amanah kepemimpinannya, hendaklah menyadari bahwa ia sedang memerankan fungsi sebagai “khalifatullah” dengan dua alat kendali utama : Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kewajibannya ialah hirasatu al-din (menjaga Agama) dan siasatu al-dunia (menata alam, menegakkan hukum dan keadilan serta memakmurkan rakyatnya). Jadi, samasekali, bukan memerankan dirinya secara personal ataupun kelompok; yang pada gilirannya akan menyandera dirinya sendiri dalam kubangan nafsu syahwat, pragmatisme, hedonisme dan kepentingan-kepentingan berjangka pendek lagi sempit. Pandangan hidup (worldview) inilah yang menginspirasi Khalifah agung Abu Bakar al-Shiddiq ketika ia menyampaikan orasi politiknya, sesaat setelah dibai’at oleh para sahabat ketika itu (diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah dan Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Hisyam) :

أمَّا بَعْدُ أيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ، فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنيِ، وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنيِ، الصِّدْقُ أَمَانَةٌ، وَاْلكَذِبُ خِيَانَةٌ، والضَّعِيْفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِي حَتَّى أُرَجِّعَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاءَ اللهُ، وَاْلقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ حَــتَّى آخُذَ الْحقَّ مِنْــهُ إِنْ شَاءَ اللهُ، لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ خَذَلَـهُمُ اللهُ باِلذُّلِّ، وَلاَ تَشِيْعُ اْلفَاحِشَةُ فيِ قَوْمٍ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِاْلبَلاَءِ، أَطِيْعُوْنيِ مَا أَطَعْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَلاَ طَاعَةَ ليِ عَلَيْكُمْ

‘Amma Ba’du : Wahai manusia, aku telah diserahi kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Untuk itu, jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku menyimpang/berbuat salah, maka luruskanlah aku. Jujur adalah amanah dan  dusta adalah khianat. Orang lemah di antara kalian adalah orang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya insya Allah, dan orang kuat di antara kalian adalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil haknya darinya insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah menjadikan hidup mereka hina dan dihinakan, tidaklah perbuatan zina menyebar di suatu kaum, melainkan Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Untuk itu, taatlah kalian kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan RasulNya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kalian.”

 

  1. F.   Prinsip Ekonomi Kita : Mendapatkan Untuk Memberi

Pertama-tama, orang yang memiliki komitmen untuk hijrah memiliki kesadaran spiritual bahwa harta dunia, selain melahirkan banyak kebaikan, tapi juga ia ibarat bara api di tangan pemiliknya. Sebagaimana Amr bin ‘Auf meriwayatkan dari Rasulullah :

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan kepada kita bagaimana Rasulullah meng-ilustrasikan harta dunia :

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا في الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada apa antara aku dengan dunia ini? Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu meninggalkannya” (HR. Tirmidzi)

Dalam aktifitas ekonomi, niat dan orientasi lillahi ta’ala dapat mengarahkan kita untuk mendayagunakan kekuatan harta untuk menebarkan kebaikan bagi sebanyak-banyaknya manusia. Bukan hanya menumpuk harta kekayaan demi kesenangan semata,

آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (Al Hadid:7)

Tentu penguasaan di sini bukanlah penguasaan mutlak sebagaimana diajarkan oleh Kapitalisme atau ajaran-ajaran lainnya. Dalam pandangan seorang muslim kepemilikan harta secara absolut hanya dinisbatkan kepada Allah semata, sementara manusia tidak lebih dari seorang yang mendapatkan amanah berat karena menjadi “perpanjangan” Tangan Allah di muka bumi ini. Karenanya, tidak ada pilihan lain kecuali dia mengelolanya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat-Nya.

Meskipun Allah sebagai Pemilik Mutlak segala apa yang ada di bumi dan langit, namun perhatikanlah bagaimana Dzat-Nya yang Maha Mulia melakukan tanazul; mensifat dirinya dengan sifat-sifat kemanusiaan kita. Dalam Al-Quran Allah menyifati diri-Nya dengan penyabar (ash-Shobur),sementara sabar tidak terjadi kecuali jika ada kesusahan (masyaqqah), sementara Allah tidaklah mungkin tertimpa kesusahan. Perhatikan ayat di bawah ini ketika Allah menyifati dirinya dengan makhluk yang lagi membutuhkan :

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245)

 

Juga pada hadits Nabi ini, Allah menyifati diriNya dengan sifat kemanusiaan kita :

يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي (رواه مسلم)

Wahai anak Adam! Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku ? Anak Adam bertanya : ”Yaa Rabb, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya ? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana”.

Wahai anak Adam!, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan ?”.Anak Adam pun bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan ? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku ?”.

Wahai anak Adam!,  Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau  tidak  memberi-Ku minum ? Lalu AnakAdam bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian Alam”?. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa Hamba-Ku si Fulan telah minta minum kepadamu, tetapi mengapa engkau tidak memberinya minum ? Seandainya engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisi-Ku.”

Dari ayat dan hadits di atas, jangan dipahami secara zhohir bahwa Allah butuh uang, Allah sakit, Allah lapar dan Allah haus, tetapi Allah lagi bertanazul dengan para hamba, yaitu Allah lagi mendekati hambanya dengan menurunkan sifat-Nya kepada sifat hamba-hambaNya. Tanazul seperti ini tidak dapat dimaknai sebagai tasyabbuh; penyerupaan Allah dengan makhluq atau ciptaanNya. Tanazul ini dapat kita ilustrasikan sebagai berikut : ketika kita menyapa anak-anak kita yang sedang bermain di atas pasir, kita ikut turun pasir; memperlakukan anak-anak bukan dengan sifat kita yang semestinya (sifat orang dewasa) tetapi dengan sifat anak-anak yang lagi bermain di atas pasir. Ini terjadi secara otomatis jika kita mencintai anak-anak kita. Tentu tidak ada yang berkata, kita berubah menjadi anak-anak dalam arti yang sebenarnya. Begitu pulalah Allah ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan sifat hamba sebenarnya Allah lagi mendekati hamba-Nya (taqarruban), merealisasikan cinta-Nya (tahabbuban) dan menyentuh hamba dengan merasakan kelembutan sifat-Nya (talathufan). Inilah spirit hijrah dalam kepemilikan harta dunia : mendapatkan untuk memberi !

  1. G.   Akhlaq Peradilan

Pangkal diterimanya suatu amal di hadapan Allah ialah niat ikhlas dan tatalaksana yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Terkait dengan perkara niat, terdapat perbedaan dalam pelaksanaan tugas-tugas seorang hakim dalam mengadili suatu perkara. Seorang hakim tidak dibenarkan menjatuhkan vonis atas suatu perkara hanya berdasarkan niat si pelaku, tetapi berdasarkan bukti-bukti faktual di hadapan/persidangan.

Demikianlah perilaku Rasulullah dalam mengadili suatu perselisihan di antara dua orang yang mengadu kepada beliau. Ummu Salamah meriwayatkan hal ini kepada kita: (Bukhari-Muslim) :

إِنَّمَـا أَناَ بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْـتَصِمُوْنَ إِليَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلـْحَـنَ بِحُجَّــتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَأَقْــضيِ لَهُ عَلىَ نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذُ فَإِنَّمَا أَقْـطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ

“Sungguh aku hanyalah seorang manusia biasa seperti kalian, dan sungguh kalian mengadukan perselisihan kepadaku, dan bisa saja sebagian di antara kalian lebih cakap retorikanya dalam berargumen dan aku putuskan perkara untuknya sesuai dengan apa yang aku dengar; maka, barangsiapa yang aku berikan keputusan (ternyata) dengan merampas hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, (karena dengan demikian) sungguh aku mengambilkan potongan bara api neraka baginya.”(HR.Bukhari & Muslim)

Contoh kongkretnya begini. Seorang laki-laki datang kepada hakim dan mengklaim bahwa seorang wanitaFulanah merupakan isteri sahnya, padahal ini sebuah pengakuan dusta. Ia dapat merekayasa dua orang saksi dan memberikan sumpah di hadapan hakim tadi. Si wanitu itu dengan segala kelemahannya tidak dapat membantah klaim dan kesaksian (dusta) tersebut, dan itu di luar pengetahuan si hakim. Lalu, berdasarkan klaim dan kesaksian dua saksi tersebut hakim mengetuk palu dan memutuskan bahwa wanita Fulanah tersebut sebagai isteri sah dari laki-laki yang mengklaimnya.

Secara prosedural, keputusan hakim tersebut tidak dapat disalahkan. Meskipun demikian, wanita Fulanahtersebut tidak otomatis “halal” untuk digauli. Statusnya tetap “haram” sesuai dengan fakta kebenaran yang sesungguhnya yang tentunya laki-laki itu tak dapat membohongi dirinya sendiri dan hati nuraninya, di mana niat dan kebenaran itu bersemayam.

 

والله أعلم بالصواب

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota