Muhammadiyah: “Jangan Jadikan Stigma Wahabi sebagai Komoditas Politik”

Wawancara : Fathurrahman Kamal, Lc,. M.S.I.

Selasa, 31 Oktober 2017 – 14:14 WIB

Dibutuhkan keteladanan pemimpin untuk membimbing umat. Jangan menjadikan stigma wahabi ini sebagai komoditas politik pragmatis

KASUS intoleran makin massif terjadi. Belum lama ini, salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, Muhammadiyah menjadi korban. 

Balai pengajian dan tiang awal pembangunan Masjid At Taqwa milik Muhammadiyah Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen Selasa (17/10/2017) sekitar pukul 20.00 WIB mengalami gangguan. Tiang-tiang cakar ayam pembangunan masjid dibakar sekelompok massa. Padahal, menurut PP Muhammadiyah, balai pengajian itu sendiri sudah bertahun-tahun dipergunakan untuk kegiatan pengajian warga Muhammadiyah.

Sebulan sebelumnya,  acara Daurah Tahfidzul Qur’an, program menghafal al-Quran dua bulan dengan target hafal 30 juzyang diadakan Ittihadul Ma’ahid Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) di  Karimunjawa, Jepara dihalang-halangi dan hendak dibubarkan kelompok tertentu dengan mempermasalahkan  Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam banyak kasus, alasannya sama, stigma wahabi, yang kerap dipolitisasi untuk menghalangi kegiatan dakwah dan tempat ibadah orang lain.

Menanggapi musibah dan fintah ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan resmi. Dalam sikap yang ditandatangani Ketua PP Muhammadiyah, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, SH., M.Hum Muhamamdiyah mengajak kepada seluruh komponen bangsa untuk tidak mudah memfitnah dan menuduh pihak lain yang tidak sesuai dengan faham keagamaannya dengan stigma  wahabi yang dapat menyebabkan dan menjadi sumber konflik dalam masyarakat.

Menindaklanjuti peristiwa ini, redaksi mewawancarai Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah KH Fathurrahman Kamal, Lc, Msi yang juga pengasuh di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogjakarta. Inilah petikan wawancaranya.

Bagaimana tanggapan Anda soal kasus Masjid At-Taqwa Bireun Aceh beberapa waktu lalu?

Kami sangat prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut. Dalam suasana umat Islam harus bergandengan tangan menghadapi tantangan yang semakin kompleks, dan seringkali dalam ketidakpastian, justru ada peristiwa ini. Kasus ini menjadi catatan buruk yang sedikit tidaknya menguras energi dan pikiran kita dalam mengarahkan umat kepada kehidupan yang penuh damai dan toleran dalam kemajemukan di republik ini.

Dalam suasana kita menampilkan wajah Islam yang ramah ini, peristiwa tersebut justeru menjadi semacam anomali, dan bahkan paradoks. Segenap elit dan pimpinan umat, termasuk pemerintah harus memperhatikan masalah ini. Ini persoalan serius dalam relasi intra umat.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menyampaikan sikap resminya terkait kasus pembakaraan pembangunan Masjid At-Taqwa. Sesuai dengan informasi dan lporan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, PDM Bireun dan PCM Samalanga dapat dipercaya bahwa telah terjadi pembakaran, dan karenanya dilaporkan kepada pihak berwajib. Selanjutnya kami berharap agar pihak Kepolisian segera melakukan penyelidikan dan pengusutan secara tuntas sampai menindak pelaku dan aktor intelektualnya sesuai dengan hukum yang berlaku. (Selanjutnya dapat dibaca, Pernyataan Sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 26/PER/I.O/B/2017)

Kapan Muhammadiyah masuk di Aceh? Apa selama ini ada masalah dengan Muhammadiyah di Aceh?

Penuturan dari para sesepuh kita di Aceh, sejak 1930-an Muhammadiyah telah mengembangkan dakwahnya di sana. Sebagaimana gerakan Muhammadiyah pada umumnya, di sana terdapat amal usaha pendidikan dan lain-lain, yang semuanya itu didedikasikan untuk kemajuan masyarakat setempat.

Dalam masyarakat yang plural, tentu tak dapat dihindari adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang terukur di internal umat Islam. Informasi yang kami dapatkan dari teman-teman di lapangan, adanya kesenjangan komunikasi dan salah persepsi tentang hakekat dan jati diri Muhammadiyah. Misalnya,  ada pihak-pihak tertentu menuduh Muhammadiyah dengan stigma wahabi. Padahal, kemiripan tertentu secara amaliah antara Muhammadiyah dengan kelompok lain tak bisa jadi pembenaran atas isu tersebut.

Bagaimana dakwah Muhammadiyah di Aceh, apakah sering menyinggung persoalan furu’iyah dan menyalahkan Aswaja?

Ketika bersilaturahim kepada jajaran pengurus Muhammadiyah di berbagai wilayah dan daerah, terkhusus lagi kepada para muballigh Muhammadiyah selalu saya tegaskan kepribadian Muhammadiyah yang berjuang menegakkan perdmaian dan kesejahteraan; memperbanyak kawan dan merawat ukhuwah Islamiyah. Yang terpenting berlapang dada serta luas pandangan dalam menyikapi berbagai perbedaan pandangan.

Membenturkan umat dengan perkara-perkara furu’iyah, apalagi sampai “menyalah”kan pihak lain, bukanlah karakter muballigh Muhammadiyah.

Tebarkan rahmat. Dai bukanlah seorang hakim yang bekerja semata dengan palu vonis yang serampangan. Dai berkewajiban untuk melakukan perubahan, bukan semata bereaksi terhadap kemungkaran yang ada. Harus menawarkan solusi operasional dan alternatif bagi umat. Ini semua menuntut seorang dai untuk terus meningkatkan kapasitas intelektual, emosi, dan spiritualnya. Cintai dan rahmati umat ini, sebab umat ini adalah jasadmu sendiri!.

Ada pihak-pihak yang menolak adanya pembakaran masjid milik Muhammadiyah?

Fakta di lapangan terjadi pembakaran, terdapat balai pengajian, dan balai itu juga yang kebetulan dijadikan sebagai tempat istirahat tukang yang sedang mengerjakan pembangunan masjid, tiang-tiang masjid juga dibakar. Benar bahwa yang dibakar bukanlah masjid yang telah sempurna bangunannya, namun pembangunan masjid yang sedang dikerjakan.

 

Penting Mengkaji Adab dan Fikih ikhtilaf

Muhammadiyah ikut dituduh Wahabi?

Stigma wahhabiyah saat ini dinisbahkan kepada gerakan dakwah yang dipelopori Syaikh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, yang dikenal gerakan bercorak pemurnian Islam. Cirinya, pemurnian akidah berdasarkan pemahaman dan praktek keagamaan Salafus Shalih, dengan spirit besar “al-ruju’ ilal Qur’an wa al-Sunnah”. Muhammad ibn Abd Wahhab secara kongkret berhasil melakukan pemberantasan “paganisme” atau praktek keagamaan yang cenderung kepada syirik, , takhayyul, bid’ah, dan churafat.  Sebagaimana Muhammadiyah dulu menyebutkan TBC.

Lalu apakah Muhammadiyah itu Wahhabi, hanya karena adanya persinggungan pada spirit pemurnian Islam, seperti pembasmian TBC tadi?

Bagi yang tidak suka atau salah paham tentang Muhammadiyah, isu dan tuduhan semacam ini selalu berulang didengungkan sesuai dengan konteks, dan juga kepentingan tertentu. Muhammadiyah sebagai gerakan yang telah berusia lebih dari satu abad, tentu dewasa dalam menghadapi keragaman, termasuk kepada yang menyudutkannya sekalipun.

Bahwa ada irisan dan kesamaan-kesamaan tertentu dengan yang lain, termasuk dengan gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam dari dunia muslim lainnya, bagi Muhammadiyah itu merupakan suatu kewajaran dan lumrah saja.

Dalam konteks ini (al-ma’lum bi al-dlarurah min al-din), kami yakin umat Islam itu saling terkait dan terikat. Perbedaan semata-mata pada wilayah juziyat atau partikular.

Menurut Anda, bagaimana stigma wahabi dalam 5 tahun terakhir?  

Tak dipungkiri bahwa isu wahhabiyah lebih bersifat politis ketimbang menjadi isu keagamaan, atau dakwah. Sebab banyak digunakan pihak-pihak tertentu sebagai amunisi untuk mendiskreditkan kelompok yang dianggap sebagai rival dan pesaingnya.

Menurut Anda, dampak stigma wahabi terhadap dakwah di Indonesia?

Dalam peperangan baru saat ini, proxy war, musuh-musuh Islam dan para kompradornya tak lagi takut dengan “Ayat-Ayat Qital/peperangan”.  Justru solidaritas dan persatuan umat Islam yang menjadi momok sangat menakutkan. Dan mereka paranoid dengan itu. Cara termudah ialah pecah dari dalam, dan gunakan teori belah bambu, devideet impera. Dan ternyata ini sangat efektif. Sejarah mengajarkan seperti itu.

Karenanya kami menghimbau seluruh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah untuk tidak mudah tertipu dengan realitas semu yang dirancang bangun oleh kekuatan-kekuatan yang tak memiliki i’tikad baik di republik ini.

Bagaimana agar isu wahabi tidak lagi banyak memakan korban di masa depan?

Dibutuhkan ketulusan dan keteladanan dari para tokoh umat dalam membimbing umat ke arah kedamaian dan persatuan, serta jangan menjadikan isu atau stigma wahabi ini sebagai komoditas politik pragmatis.

Pemerintah harus adil dan transparan dalam memenej isu-isu keagamaan, dan jangan sampai terjebak pada satu kutub tertentu, apalagi menjadikannya sebagai komoditas ataupun kepentingan  politik tertentu.

Bagaimana umat menyikapi ini?

Umat perlu bersikap lebih cerdas dalam menilai berbagai isu-isu yang disebarkan secara tidak bertanggungjawab oleh pihak-pihak tertentu yang phobi terhadap perjuangan dan persatuan umat Islam.

Dalam konteks ini, kami serukan kepada semua da’i dan muballigh untuk mengkonstruksi dakwah wasathiyah yang memberikan ruang apresiasi yang tinggi, tasamauh, toleran serta kritis terhadap berbagai perbedaan pandangan keagamaan, terlebih dalam bingkai khilafiyah-furu’iyah. Bahkan penting dikaji adab dan fikih ikhtilaf.*/Andi Ryansyah

Sumber : https://www.hidayatullah.com/berita/wawancara/read/2017/10/31/126834/muhammadiyah-jangan-jadikan-stigma-wahabi-sebagai-komoditas-politik.html/2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota