Republik ini Rusak di Tangan Politisi dan Pelaksana Negara yang Tidak Memahami Sejarah Pembentukan Bangsanya

Fathurrahman Kamal

Tak usai dengan pernyataan kontroversial menolak Perda Syariah Islam yang disampaikan oleh Sekjend Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hari-hari ini perhatian publik kembali tersentak dengan wacana pelarangan poligami dari partai yang sama. Terhadap pernyataan kontroversial tersebut Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Imam Nahe’i memberikan sokongan. “Bagi kami, Komnas Perempuan, poligami adalah kekerasan terhadap perempuan,” ucap Imam dalam acara diskusi Perempuan dan Politik; ‘Bisakah Poligami di Indonesia Dilarang?” di Gado-gado Boplo, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 15 Desember 2018 (https://nasional.tempo.co/read/ 1155641/ komnas-perempuan-yang-sebut-poligami-sunnah-nodai-islam/full&view=ok)

Pentingnya Menyadari sejarah pembentukan bangsa

Apa yang dinyatakan oleh Komnas Perempuan dan ketua PSI menjadi pertanda nyata bahwa Republik sedang menjalani suatu fase dimana pihak-pihak tertentu tidak memahami sejarah pembangunan bangsa ini. Jika hal ini tidak segera dihentikan, maka sesungguhnya kita sedang menggali lubang likuifaksi kebangsaan Indonesia. Jangan relakan republik ini rusak di tangan politisi dan pelaksana negara yang tidak memahami sejarah pembentukan bangsanya.

Marilah kita membaca ulang kebesaran jiwa para pendiri Republik ini. Di era pertentangan ideologi dahulu, kita dapatkan keteladanan dan kebesaran jiwa para pounding fathers yang demikian indah. Mereka telah berhasil menanamkan “ta’awun kebangsaan” yang sarat orientasi moral, spiritual, rasional, dan profesional dalam semangat kebersamaan. Perhatikan kata Presiden Soekarno,  “Nasionalisme Barat yang bersifat serang menyerang dan nasionalisme perdagangan yang memperhitungkan untung dan rugi, serta nasionalisme yang sempit, pastilah akan hancur dengan sendirinya. Sedangkan nasionalisme tauhid yang lebih bersifat kemanusiaan akan tampil sebagai pemenang.” (Lihat, Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, 1999: 76-85; Azyumardi Azra, Islam Reformis, 1999:100).

Sementara pada sidang “Badan Untuk Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan” (BPUPK),  Ki Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, pada tanggal 31 Mei 1945, dalam akhir pidatonya menyatakan: “…Saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia-Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya pun mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam”.

Ketika  pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan paham kebangsaan yang luas dan tidak sempit yang kemudian terangkum antara lain dalam gagasan Pancasila. Dengan lantang, beliau menyatakan,“…Sayapun, adalah orang Islam….keislaman saya jauh belum sempurna, —tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.”

Dialog intelektual di BPUPK itu di kemudian hari menghasilkan “Gentlement’s Agreement” pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan Sila Pertama, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, untuk kemudian mencapai titik kompromi lagi dalam Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada Pancasila yang ditetapkan dalam Konstitusi Dasar UUD 1945 yang disepakati pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Bahkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan, ” Kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” Inilah yang di kemudian hari menjadi filosofi lahirnya Kompilasi Hukum Islam, di mana hukum Islam yang menjadi pedoman hidup dalam masyarakat muslim khususnya mendapatkan eksistensi legal konstitusional dalam kehidupan hukum nasional kita.

Dengan demikian, pengingkaran terhadap hukum Islam merupakan bukti nyata kedunguan historis yang akut, dan diderita oleh politisi muda milenial, bahkan oleh penyelenggara negara.

Adil dan proporsional dalam memandang poligami sebagai ajaran Islam

Dalam tradisi Arab sebelum Islam, kaum perempuan diperlakukan secara tidak adil, bahkan dianggap sebagai komoditas dan properti yang dapat diwariskan. Dalam hal perkawinan mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, penuh kekerasan baik secara fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial. Seorang laki-laki dapat beristeri sebanyak mungkin dalam satu waktu yang sama.

Sebagai karakter dasar Islam sebagai penebar rahmat bagi kemanusiaan universal, pernikahan semacam ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang luhur, terlebih lagi dalam pandangan Wahyu. Tradisi poligami jahiliyah dikritik, dan dibatasi oleh Al-Qur’an, dan dengan persyaratan yang ketat seperti kemampuan secara fisik dan non-fisik, berlaku adil, serta mewujudkan maslahat. Bersebab beratnya persyaratan tersebut, secara eksplisit Al-Qur’an menekankan monogami sebagai pilihan terbaik, karena pada dasarnya bersikap adil dan menjauhi kemudaratan bagi keluarga adalah lebih utama untuk menjaga ketakakwaan. Secara ijtihadi, Muhammadiyah berpandangan bahwa monogamy merupakan prinsip dan asas dalam pernikahan Islam. Terkait hal ini, Al-Qur’an menegaskan :

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا . وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa’/4 : 2-3)

Pada dua ayat tersebut dari atas, Al-Qur’an berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan poligami, syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat isteri. Pemahaman komprehensif mengenai ayat ini dapat ditelusuri melalui pembacaan asbab al-nuzul berikut ini. Aisyah r.a. menuturkan  bahwa seorang laki-laki memiliki seorang wanita yatim. Lalu dia menikahinya karena wanita itu memiliki kebun kurma. Hingga dia di suruh menjaga kebun itu yang sebenarnya dia tidak mencintai wanita itu. Maka turunlah ayat 3 dari surah Al-Nisa’ tersebut. (HR. Bukhari). Riwayat lainnya, Urwah bin Zubayr menuturkan bahwa Urwah bertanya kepada ‘Aisyah r.a. tentang makna ayat “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya)..”. Lalu beliau menjelaskan bahwa  ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan perempuan yatim yang diperlihara oleh walinya. Tetapi kemudian harta dan kecantikan perempuan yatim itu menarik hati si wali. Tetapi si wali itu ternyata tidak berlaku adil. Dia tidak mau memberi maskawin sebagaimana yang diberikan suami kepada isterinya yang setara. Ayat ini mencegah mereka berbuat demikian dan memerintahkan mereka untuk menikahi perempuan lain (HR. Bukhari & Muslim). Pesan moral terpenting dari periwayatan tersebut ialah kritik Islam terhadap tradisi jahiliah dan prilaku sewenang-wenang terhadap kaum perempuan, dan menggantinya dengan sikap adil, manusiawi, dan penghormatan yang tinggi terhadap kaum hawa.

Perspektif lain terkait historisitas ayat 3 dari surah al-Nisa’ dapat dibaca pada Himpunan Putusan Tarjih (Jilid III/389-390). Ayat ini menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemahaman ini berdasarkan rekonstruksi sejarah saat ayat ini diturunkan pada tahun ke-4 H. Peperangan Uhud yang mengantarkan 70 orang shabat sebagai syuhada’ telah meninggalkan sejumlah persoalan sosial dengan banyaknya para shahabiyat yang menjadi janda, sekaligus anak-anak yatim. Dengan demikian tidak sedikit keluarga yang kehilangan penopang ekonominya. Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh bisa saja mengalami lompatan jumlah janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar.

Pada masa pra Islam, di mana tribalisme menjadi struktur sosial masyarakat Arab, persoalan semacam ini tidaklah berdampak serius, sebab kepala kabilah mempunyai tanggungjawab untuk memberikan jaminan sosial kepada para warganya dengan memberikan santunan tertentu misalnya. Namun seiring dengan kemajuan masyarakat dan perubahan sosial sebagai dampak dari perkembangan Hijaz sebagai rute perdagangan dari Yaman ke Siria, tentu pula melahirkan konsekwensi logis semacam individualisme, eksploitasi terhadap yang lemah, dan berbagai persaingan lainnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, Islam tidak setback ke masa jahiliyah dahulu namun memberikan pencerahan dengan penekanan terhadap persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Bersebab itu, ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur dalam peperangan, Nabi ‘alaihissalam tidak berlaku sebagai sebagai kepala suku yang secara langsung memberikan santuunan tunai kepada para janda dan anak-anak yatim. Namun beliau tampil sebagai seorang kepala negara visioner yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Dikarenakan terbatasnya sumberdaya finansial negara, maka kebijakan yang diambilnya ialah menghimbau kepada warga yang berkemampuan secara mental dan material untuk turut serta menanggulangi krisis sosial tersebut dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial. Secara historis tampak bahwa poligami lebih merupakan solusi spesifik atas suatu keadaan “darurat” dimana pelaksanaannya harus mengacu kepada idealisme Al-Qur’an.

Dengan pemaparan tersebut di atas, adalah sebuah kedunguan historis yang akut jika ada pihak tertentu, apalagi tokoh politik atau penyelenggara negara, yang resisten terhadap poligami, bahkan menyatakannya bukan bagian dari ajaran Islam. Dalam hal ini penting bagi mereka untuk berlapang dada dan meluaskan cakrawala literasinya.

Wallâhu A’lamu bi-Alshawâb

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota