Tazkyatun Nufus : Mensucikan Jiwa Dalam Ajaran KH Ahmad Dahlan رَحمَهُ الله

Mukaddimah

KRH Hadjid, alumnus Pondok Pesantren Termas sekaligus murid termuda KH Ahmad Dahlan, menulis 7 falsafah ajaran dan 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah kita. Beliau berkeyakinan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dalam masyarakat dapat diatasi dengan ketujuh falsafah tersebut sebagaimana ketujuh belas kelompok ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para pewaris Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan jiwa/ruhiyah Muhammadiyah itu sendiri.[1]

Tujuh falsafah ajaran yang dimaksud ialah; (1) Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraan?; (2) Kebanyakan diantara manusia berwatak angkuh dan takabbur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri; (3) Manusia itu kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk diubah. Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut keyakinan atau i’tikad, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah, mereka akan sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar; (4) Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal fikirannya untuk memikirkan, bagaimana sebenarnya hakekat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju?. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya.”Adakah engkau menyangka bahwasanya kebanyakan manusia suka mendengarkan atau memikir-mikir mencari ilmu yang benar.” Al-Furqan : 44;

Berikutnya, (5) Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, membaca beberapa tumpuk buku…Sekarang, kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir kalau menetapi kebenaran, akan terpisah dari apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata, banyak kekhawatiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti makhluq yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menempati kebenaran; (6) Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah; (7) Pelajaran terbagi atas dua bagaian: belajar ilmu, pengetahuan atau teori dan belajar amal, mengerjakan atau mempraktekkan. Semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat…Demikian juga dalam belajar amal, harus bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah.

Adapun 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat 17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4) Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[2]; (9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat 32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli ‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163; (13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11; (15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd ayat 16.

Demikianlah ketujuh falsafah ajaran dan tujuh belas kelompok ayat al-Qur’an yang selalu ditekankan olehAllâh Yarhamuhu KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Pada makalah tadabbur al-Qur’an ini kami hanya menyampaikan kelompok pertama yaitu “tazkyatun nufus”, bagaimana seharusnya kita membersihkan diri/jiwa dalam ajaran Mu’assis/Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah kita ini.

 

Munthalaq (starting point) : Tafsir Surat Al-Jâtsiyah Ayat 23

Sebagai murid yang baik, yang tidak ingin kehilangan kilauan mutiara kehidupan gurunya, KHR Hadjid selalu menyelidiki apa yang menjadi pikiran dan renungan serta membuat masygul KH Ahmad Dahlan siang dan malam. Sampai pada suatu ketika beliau menemukan papan tulis kecil di atas meja sang guru. Di sana tertulis petikan al-Qur’an, surat al-Jatsyah ayat 23 berikut ini :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ[3]

Tim Ulama yang menyusun Al-Tafsir Al-Muyassar menyatakan, ayat tersebut mengandung pesan utama agar orang-orang mukmin waspada jika hawa nafsu menjadi pendorong atau motivator mereka dalam beramal dan berkarya.[4]Menurut Al-Imam Al-Thabari, ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang menjalankan agamanya dengan hawa nafsu. Ia tidak beriman dengan Allah SWT, tidak pula menghalalkan ataupun mengharamkan sesuatu berdasarkan ajaranNya; hawa nafsu oriented. Sehingga dapat ditegaskan bahwa orang seperti ini menjadikan hawa nafsu sebagai agamanya.[5] Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Abbas, Hasan dan Qatadah radliallahu ‘anhum, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an. Sementara ‘Ikrimah radliallah ‘anhu berpendapat, ayat tersebut mengisyaratkan orang yang menyembah sesuatu sesukanya, atau yang dianggap baik. Abu Darda’radliallah ‘anhuberkata[6],

إذا أصبح الرجل اجتمع هواه وعمله وعلمه فإن كان عمله تبعا لهواه فيومه يوم سوء وإن كان عمله تبعا لعلمه فيومه يوم صالح[7]

Demikianlah makna firman Allah SWT dalam Al-Jatsiyah : 23 yang dikemukakan oleh sebagian mufassir terkemuka. Menurut penulis, masih diperlukan penafsiran yang lebih ‘tajam’ dan ‘menukik’ untuk membangkitkan spirit dan ruhiyah kita. Barangkali di sinilah letak ketajaman makna ayat tersebut dalam pandangan KH Ahmad Dahlan. Menurutnya, ayat tersebut mengandung makna dan ajaran sebagai berikut :

1)      Kita dilarang untuk menghambakan diri kepada siapapun atau benda apapun jua, kecuali kepada Allah SWT. Orang yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, mengerjakan apa saja yang menjadi dorongan hawa nafsunya dapat dikategorikan sebagai musyrik. Kaum musyrikin menyembah berhala karena taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang mereka. Ini bermakna mereka menjadi hamba dari hawa nafsunya, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat mereka.

2)      Siapa saja yang tunduk/taat dan berbuat mengikuti kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT juga dapat disebut sebagai penyembah hawa nafsu. Karena jelas, kita tidak diperbolehkan secara syar’iy  untuk mencintai siapapun jua di atas cinta kasih kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal sedemikian ditegaskan pula oleh Allah SWT dalam surat al-Taubah ayat 24 :

           قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [8]

Juga dalam surat al-Baqarah : 165

           وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ [9]

3)      Berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Dalam pemenuhan cinta terhadap hawa nafsunya, manusia seringkali lupa akan akibat dan malapetaka yang ditimbulkannya, lupa akan akibat-akibat buruknya. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.[10]

Dalam berinteraksi dengan hawa nafsu, yang seringkali menjadi abstrak di hadapan kita sehingga kita kehilangan stamina untuk menatanya, KH Ahmad Dahlan secara tegas mengidentifikasikannya sebagai  “musyrik” !. Sebagian di antara kita mungkin akan berkomentar, “ekstrem” (?).

Kita, umat Islam, pada umumnya, sangat familiar dengan dua jenis syirik; akbar dan ashghar. Mereka, atau juga kita, kurang akrab dengan jenis syirik yang satu ini; al-syirk al-khafiyy. Syirik jenis terakhir ini lebih dominan pada aspek niat dan orientasi yang terselubung. Oleh karena itu disebut sebagai “al-khafiyy” (yang tersembunyi). Rasulullah SAW mengilustrasikannya sebagai orang yang “salah niat”.[11]Dalam Ilustrasi lain dinyatakan sebagai sesuatu yang lebih samar dari langkah seekorsemut hitam, di atas batu karang  hitam yang bisu.[12] Motivasi beramal yang “hanya” berorientasi dunia samata juga dikecam oleh Rasulullah SAW dalam sabda berikut ini:

تعس عبد الدينار وعبد الدرهم وعبد الخميصة إن أعطي رضي وإن لم يعط سخط

“Celakalah penghamba dinar. Celakalah penghamba dirham. Celakalah penghamba khamishah jika ia diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”(HR Bukhari).

Khamishah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan sulaman atau garis-garis yang menarik dan amat indah. Pesan moral dalam hadis di atas ialah teguran keras terhadap orang-orang yang sangat ambisius dengan kekayaan duniawi, sehingga ia terbelenggu dan menjadi penghamba harta benda. Mereka, tegas Nabi SAW, adalah berhak untuk celaka dan sengsara. Bandingkan dengan kisah tiga orang yang diadili oleh Allah SWT; seorang qari’/intelek, seorang yang mati syahid dan seorang dermawan. Ketiganya bangga dengan prestasi hidupnya masing-masing. Tapi pada akhirnya, final kehidupan mereka mengenaskan : dicampakkan ke neraka!(HR Muslim).[13]  Na’udzubillah.

Penafsiran KH Ahmad Dahlan tersebut menarik untuk disandingkan dengan penafsiran Sayyid Qutbrahimahullah. Gaya redaksional yang sangat pada ayat tersebut, menurutnya, menggambarkan satu ilustrasi yang aneh bagi jiwa manusia ketika jiwa itu meninggalkan asal yang pasti, untuk kemudian mengikuti hawa nafsu yang berubah-ubah. Hal itu terjadi ketika ia menyembah hawa nafsunya, tunduk kepadanya, dan menjadikannya sebagai sumber pola pandang, hukum, perasaan dan gerakannya. Juga menjadikannya sebagai tuhan yang yang memiliki otoritas, yang menguasai dirinya, lalu menerima segala isyarat yang diberikannya lalu ia taat, tuntuk dan menerimanya begitu saja. Oleh karena itulah kemudian, gaya bahasa Al-Qur’an mengingkarinya dengan nada penuh keheranan, “Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…”

“Pernahkah kamu melihatnya?”, gugah Sayyid Qutb rahimahullah. “Ia adalah sosok yang aneh yang pantas dianggap aneh!. Dan ia berhak disesatkan oleh Allah SWT, dan tak memberikannya rahmat berupa petunjuk. Tak ada tempat yang tersisa bagi petunjuk dalam hatinya, ketika ia mempertuhankan hawa nafsunya yang sakit!”.

وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَة فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ [14]

Orang yang mempertuhankan hawa nafsunya, dalam pandangan Sayyid Qutb rahimahullah, pantas untuk disesatkan. Sesuai dengan Ilmu Allah yang Maha Benar. Ia tidak dihalangi untuk memperturutkan segala kehendak hawa nafsunya, lalu ia dibiarkan dalam kebutaannya. Tersumbatlah segala potensi jasadiah dan ruhiyahnya untuk menangkap cahaya petunjuk Ilahi. Demikian pula potensi intelektual yang melekat pada dirinya menjadi tumpul tak bermakna oleh karena ketaatan, ketundukan dan penyerahan totalitas dirinya kepada hawa nafsu tersebut.[15]

Ilustrasi lebih unik tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya dapat dilihat pada kisah Bal’am Ibnu Ba’ura sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu Katsir dala Tafsir al-Qur’anil Adzhim. Bal’am adalah seorang sahabat dan kolega dekat Nabi Musa ‘alaihissalam, yang dianugerahi oleh Allah SWT pemahaman ayat-ayatNya yang luar biasa. Ia memiliki integritas moral dan intelektual yang sedemikian tinggi di tengah masyarakat Nabi Musa saat itu. Ia sangat dihormati dan disegani. Oleh sebab itu pula kemudian Nabi Musa alaihissalam memberikan kepercayaan kepadanya untuk menyampaikan dakwah kepada Penguasa Madyan.

Penguasa Madyan sangat paham akan kapasitas dan integritas yang disandang oleh Bal’am Ibnu Ba’ura. Tapi juga ia sangat mengetahui bahwa Bal’am bukanlah tergolong orang kaya. Dari sisi materi ia memiliki keterbatasan yang sangat nyata. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh penguasa Madyan untuk memperdayakannya. Ia dipersilahkan untuk tinggal di istana dengan berbagai fasilitas hidup, yang barangkali, belum ia rasakan sebelumnya. Apa yang terjadi? Hari demi hari, ia terlelap dengan kemegahan dan keindahan hidup di tengah-tengah penggede istana. Ia lupa menyampaikan dakwah yang telah diamanahkan oleh Nabi Musa alaihissalam. Ekstremnya, ia pada akhirnya keluar dari ajaran Nabi Musaalaihissalam, dan kemudian bergabung dengan penguasa Madyan untuk melawan dan memusuhi Nabi Musa ‘alaihissalm. Hal inilah yang meletarbelakangi [sabab nuzul] ayat ke 175-176 dari surat al-A’raf[16]. Ilustrasi unik, digambarkan sebagai seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.Na’udzubillah. Lalu,Di mana posisi kita, dahulu, sekarang dan di masa yang akan datang ?

 

Kegelisahan Ruhiyah/Spiritual KH Ahmad Dahlan 

Namun demikian, KH Ahmad Dahlan menjelaskan pula bahwa, asal mula kelahiran manusia adalah berdasarkan “fitrah”, asal yang suci, murni dan bersih [bebas dari angkara murka dan kejahatan]. Lalu ia dipangaruhi oleh hawa nafsunya, orang tua, lingkungan pergaulan, guru, rumah tangga serta masyarakat sekitarnya. Inilah proses yang pada akhirnya manusia tertawan oleh hawa nafsunya sendiri.[17]Penjelasan tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW berikut :

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأَبـَوَاهُ يـُهَـوِّدَانِهِ أَوْ يُـنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُـنْتِجُ اْلبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ (رواه البخاري)

Kalaulah, pada awal mulanya, manusia terlahirkan dalam keadaan “fitrah” sebagaimana diterangkan di atas, lalu mengalami pergeseran kepada keburukan, bahkan menyamai hewan yang tidak memiliki potensi akal, mungkinkah mereka kembali kepada “fitrah” yang awal itu? Jika memungkinkan, bagaimanakah cara menuju kepada kesucian itu?

Dalam hemat pandangan kami, inilah yang menjadi kegelisahan “ruhiyah” atau perenungan ”spiritual” KH Ahmad Dahlan, yang menurut riwayat KHR Hadjid, menjadikan beliau masygul merenungkannya siang dan malam. Tapi juga pada saat yang sama menjelma menjadi kekuatan ruhiyah yang dahsyat, menembus relung jiwanya yang terdalam serta membangkitkan kekuatan dan iradah untuk beramal.

Tazkyatun Nufus Sebagai Metode Menemukan Kembali Fitrah Yang Hilang

Setelah melakukan tafakkur, muhasabah dan muraqabah akhirnya KH Ahmad Dahlan berpendapat bahwa untuk menemukan kembali fitrah yang hilang kita dituntut untuk melakukan pensucian diri/jiwa (tazkyatunnufus). Hal ini dapat dilakukan dengan cara melawan hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Inilah kunci kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Takwa kepada Allah merupakan pangkal segala kebaikan sebagaimana memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal segala keburukan[18]

Menurut KH Ahmad Dahlan, melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita masing-masing tidaklah dapat dilakukan, kecuali dengan membuang jauh-jauh dari diri kita segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. “Setelah kita mampu membersihkan diri dari khurafat, dapat membandingkan dalil-dalil sehingga dapat mengerti Islam dengan sebenarnya, mengerti sunah-sunah Rasulullah SAW”, kata beliau, “Belum tentu kita dapat menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an jika hawa nafsu di dalam hati masih menjadi berhala.”

KH Ahmad Dahlan mengajarkan dan mendidik kita untuk membuang segala kebiasaan yang ada dalam diri sendiri, dalam rumah tangga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW. Beliau juga menegaskan perlunya melakukan muhasabah dalam segala sesuatu, baik itu menyangkut perkara aqa’id, ikhlas karena Allah SWT maupun perkara-perkara amaliah. Kebersihan jiwa akan terwujud bila kita mempu membuang segala kebiasaan buruk itu.[19]

Penjelasan tersebut sepadan dengan pernyataan Imam Al-Ghazali. Kata beliau dalam kitabnya “Mengobati Penyakit Hati” :

“Mengobati jiwa yang sakit adalah dengan jalan menghilangkan tabiat rendah dan akhlaq-akhlaq buruk, serta mengisinya dengan keutamaan dan budi yang mulia. Sama halnya dengan mengobati tubuh dari suatu penyakit dan menjadikan tubuh sehat dan segar bugar…Setiap anak yang baru dilahirkan, ia pasti dalam keadaan normal jiwanya, sehat fitrahnya serta masih murni dan bersih dari segala pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi penganut agama Yahudi, Nashrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentu karena adanya hasil kebiasaan, pendidikan, dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi menjadi gemar melakukan sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan melakukannya.”[20]

Fluktuasi Jiwa dan Metode Tazkyatun Nufus

Manusia bukanlah Malaikat, sehingga ia terus menerus melakukan ketaatan. Bukan pula Syithan yang totalitas kehidupannya dalam kemaksiatan kepada Allah SWT. Manusia berada di antara daya tarik kedua makhluk tersebut.

Sudah menjadi ketentuan dan kehendak Allah SWT yang azali [taqdir kawniy] bahwa manusia dianugerahkan dua potensi yang antagonis pada dirinya yang satu; potensi taqwa  dan potensi fujur.Kedua potensi ini terus dan selalu berkompetisi yang kemudian melahirkan fluktuasi keadaan jiwa manusia. Tapi juga Allah SWT memberikan isyarat yang tegas bagaimana sebaiknya manusia memenej potensi tersebut. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat  al-Syams ayat 7-10 :

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا[21].

Dalam berinteraksi dengan kedua potensi yang bertolak belakang tersebut manusia secara garis besarnya akan mengalami tiga keadaan berikut ini; pertama, jika Takwa lebih dominan daripada fujur kecenderungannya ialah dzikrullah[22] dan inilah yang disebut Al-Nafs al-Muthma’innah[23]; kedua, Takwaseimbang dengan fujur berorientasi kepada sikap mengutamakan akal[24]. Inilah Al-Nafs al-Lawwâmah[25]; ketiga Al-Nafs al-Ammârah bi al- Sû[26] yang merupakan potret dominannya Fujur  daripada takwa dan berorientasi kepada syahwat, nafsu, hedonis[27]

Tidak satupun diantara kita selamat dari fluktuasi tiga keadaan jiwa tersebut, kecuali dengan curahan rahmat Allah SWT. Bahkan Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam dengan tulus mengakui betapa daya tarik nafsu/fujur itu sangat kuat. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat berikut ini :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ   [28]

Wujud rahmat Allah SWT kepada kita adalah diturunkannya syari’at yang menata hubungan kita denganNya, interaksi sesama dan juga hubungan kita dengan alam semesta ini. Dalam hemat penulis, sistem syariat inilah yang dijadikan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai titik tolak/munthalaq dalam merumuskan metode dan jalan pensucian diri/jiwa, tazkyatun nufus. Allah SWT berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى [29]

Berdasarkan ayat ini, KH Ahmad Dahlan merumuskan tiga metode, jalan pensucian jiwa (tazkyatun nufus) yaitu; Dzikrullah, Menunaikan shalat dan Mengingat kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir  [kehidupan akherat].[30]

1)     Jalan pertama : Dzikrullah

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [31]

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini, “Belumkah datang saatnya agar hati orang-orang yang beriman itu menjadi lembut ketika berdzikir dan medapatkan mau’idzah, juga ketika mereka mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka memahaminya, atuh serta mentaatinya.”[32]

Abdullah ibn Mas’ud RA berkata :

ما كان بين إسلامنا وبين أن عوتبنا بهذه الآية إلا أربع سنين (رواه مسلم)

KH Suprapto Ibnu Juraimi, guru kita yang populer dengan rihlah dakwahnya, menerangkan bahwa berdzikir dan bertasbih adalah bentuk amal shaleh yang merupakan saluran dan jembatan dari nurani, dan ada beberapa amalan tersendiri yang mampu menjembatani dan menyalurkan kita pada tingkatan yang lebih tinggi dan tertinggi. Orang yang berhasrat sangat untuk menjadikan kalbunya bercahaya terang, namun ia tidak memiliki wiridan atau dzikir, berarti ia tidak melakukan usaha untuk mencapai tingkatan-tingkatan itu.[33]

Al-Imam Al-Ghazali berkata :

“Ketahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali (keselamatan) dalam pertemuan dengan Allah SWT. Tidak ada jalan untuk bertemu denganNya kecuali kematian seorang hamba dalam keadaan cinta kepadaNya, juga mengenal hakekatNya. Sungguh cinta dan keakraban takkan tercapai kecuali dengan senantiasa tafakkur tentang berbagai ciptaan, sifat-Sifat  dan perbuatanNya. Di alam wujud ini, yang ada hanyalah Allah SWT serta perbuatan-perbuatanNya. Kita tak kan dapat berdzikir dan tafakkur kecuali dengan berpisah dari syahwat-syahwat dunia, dan mengambil darinya sebatas keperluan saja. Semua itu tak kan juga tercapai kecuali dengan meluangkan sebagian waktu malam dan siang untuk menunaikan dzikrullah.”[34]

Dzikir menurut KH Ahmad Dahlan dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut; mengingat dan menghayati sifat-sifat Allah yang agung (asma’ wa shifat); mengingat dan tafakkur terhadap ayat-ayat Allah SWT; mengingat dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT; menyebut Asma’ dan shifat Allah SWT dengan lisan; dzikir dengan qalbu :  dzikir kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh, melupakan segala sesuatu selain dariNya, sehingga seolah-olah kita melihatNya; dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring di segala tempat dan waktu; memulai aktifitas : بسم الله الرحمن الرحيم ; dalam menghadapi kesulitan menyebut tahlil : لاإله إلا الله; menerima kenikmatan Allah dengan menyebut :الشكر لله; melihat sesuatu yang haram : سبحان الله; ketika berbuat dosa : أستغــفرالله; ketika mendapatkan musibah : إنا لله وإنا إليه راجعون / حسبنا الله ونعم الوكيل; ingat akan qadla dan qadar Allah SWT : توكلت على الله ; terhadap ajakan taat atau godaan maksiat : لاحول ولا قوة إلا بالله

Selain dari beberapa macam dzikir tersebut, dapat pula melakukan pembacaan wirid yang telah ditulis oleh para ulama terkemuka yang berdasarkan pada hadis-hadis yang shahih/maqbul. KRH Hadjid meriwayatkan bahwa KH Ahmad Dahlan seringkali mengajarkan do’a-do’a dan wirid kepada murid-muridnya.

2)     Jalan kedua : Menunaikan shalat.

            Cara membersihkan jiwa dari hawa nafsu juga dengan memperbanyak shalat seperti shalat wajib 5 waktu. Shalat-shalat sunah seperti shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat tahajjud, witir, istkharah, idul fitri, idul adlha, shalat gerhana bulan/matahari, istisqa’i dan lain-lain sebagaimana banyak dijelaskan dalam kitab Fikih.

Shalat merupakan sarana terbesar menuju kesucian jiwa, dan pada saat yang sama ia menjadi ukuran dan bukti dalam tazkyatun nufus. Shalat mempertajam makna ‘ubudiyah, tauhid dan syukur. Penegakan shalat secara sempurna dapat memusnahkan segala bentuk kesombongan diri dan ketertipuan diri (ghurur). Shalat mencegah segala bentuk kekejian dan kemunkaran (Al-‘Ankabut : 45).[35]

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْــــــهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُــونَ

            Rasulullah SAW mengilustrasikan seseorang yang menunaikan shalatnya dengan baik seperti orang yang di depan rumahnya ada sungai. Lalu ia mandi sebanyak lima kali.”Apakah kotorannya masih tersisa di badannya?”, tanya beliau kepada sahabat-sahabatnya. “Tidak, wahai Rasulullah!.” Lanjut Nabi SAW,”Demikian halnya dengan shalat, dengannya Allah SWT menghapus segala kesalahan.”[36]

Selain itu dapat pula mentadabburi al-Qaur’an ketika menunaikan shalat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat  14 :

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي [37]

            Ajaran KH Ahmad Dahlan untuk tadabbur Al-Qur’an ketika shalat, dapat mengoptimalkankehadiran hati serta meningkatkan daya khusyu’ kita.

إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا. وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا[38]

3)      Jalan ketiga : Mengingat mati & kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir.

            Pada titik penghayatan terdalam seseorang yang beragama, apapun agamanya, ada pertanyaan “benarkah hidup itu bermakna?.

Aliran hedonisme menganggap hidup bermakna selama ia memberikan kenyamanan dan kenikmatan. Oleh karena itu mereka yang meyakininya sangat getol mengarahkan segala aktivitasnya untuk mengejar kenikmatan duniawi semata. Jelas, pandangan ini tidak sejalan dengan ajaran luhur agama, karena kaum hedonis memberikan harga dan makna hidup sebatas pada capaian nikmat fisik. Tentunya durasi kenikmatan fisik, betapapun kemegahannya, amatlah terbatas.

Lain lagi dengan aliran nihilisme. Aliran ini menyatakan bahwa manusia tak ubahnya seperti hewan ataupun benda lain yang semuanya berakhir ketika seseorang itu meninggal. Daya hidup mirip batu baterai pada hand-phone yang ketika habis setrumnya, maka semua system yang rumit itu tidak bisa bekerja lagi. Jadi, berbagai pikiran, imajinasi, harapan, dan keyakinan tentang nilai-nilai luhur maupun kehidupan akherat kesemuanya itu hanyalah ilusi belaka.

Hidup, menurut aliran ini, akan bermakna selama kita beri makna, namun hanya berlaku sebatas kehidupan di dunia ini. Ciri terdekat pemeluk nihilisme ialah menyandarkan makna hidup pada rasa dan keperihatinan kemanusiaan. Oleh karena itu mereka, tampaknya, sangat getol memperjuangkan nasib orang-orang tertindas, memperjuangkan HAM, perbaikan lingkungan, namun tak ada kaitannya dengan iman.[39] Jadi, kedua etika humanisme sekuler ini, pada tataran zahirnya tampak simpatik. Namun keduanya kosong orientasi ukhrawy. Ia menjanjikan kenikmatan jasmani, tapi hampa pada dimensi ruhani.

            Berbeda dengan ajaran Islam. Kedua aliran tersebut di atas, dengan alasan apapun, tidak dapat dibenarkan, meskipun ada sisi baik yang ditampakkannya. Islam mengajarkan bahwa kehidupan hakiki dan abadi ialah kehidupan akherat. Dunia menjadi ladang investasi dan medan berkarya untuk meraik kehidupan yang kekal itu. Dunia bukan tujuan, melainkan sebuah ruang transit, untuk kemudian meneruskan perjalanan ke negeri akherat. Di sini, mati bermakna sebagai gerbang menuju kampung abadi. Juga menjadi pintu pertemuan kita dengan Sang Khaliq, Dzat Pencipta kita. Di sini pula, Rasulullah SAW melantunkan satu bagian dari do’a panjang beliau, “Ya Allah, anugerahi aku rasa rindu dan cinta untuk segera bertemu dengan Dzat-Mu Yang Maha Agung.”

Dalam pandangan penulis, KH Ahmad Dahlan memandang hidup dan mati seperti itu. Bagi beliau, mati adalah bahaya besar, tetapi lalai dan lupa akan kematian merupakan melapetaka yang jauh lebih besar. Oleh karena itu manusia hendaknya segera ‘membereskan’ segala urusannya, entah itu hablun minallahataupun hablun minannas. Kepada teman-temannya beliau berpesan :

“Lengah, kalau terlandjur terus menerus lengah, tentu akan sengsara di dunia dan acherat. Maka dari itu djangan sampai lengah, kita harus berhati-hati. Sedangkan orang jang mentjari kemuliaan di dunia sadja, kalau hanya seenaknya tidak sungguh2 tidak akan berhasil, lebih-lebih mentjari keselamatan, kemuliaan di acherat. Kalau hanya seenaknja, sungguh tidak akan berhasil.”[40]

Di lain kesempatan beliau berkata :

“Bermatjam-matjam tjorak ragamnya mereka mengadjukan pertanjaan tentang soal2 agama. Tetapi tidak ada satupun jang mengadjukan pertanjaan demikian :’Harus bagaimanakah supaja diriku selamat dari api neraka?Harus mengerdjakan perintah apa?Beramal apa?Mendjauhi dan meninggalkan apa?’.”[41]

Dari sini, tampak bahwa dorongan kematian menduduki posisi istimewa dalam pandangan beliau tentang makna kehidupan. Mati ditafsirkan sebagai sesuatu yang positif. Keyakinan inilah yang kemudian yang melahirkan energi dan stamina  ruhiyah dahsyat pada diri beliau untuk berbuat dan berkarya nyata.

Tentang kesucian jiwa yang beliau ajarkan kepada murid-muridnya, KH Ahmad Dahlan masih menggugah kesadaran. Apakah “kesucian diri” sebatas klaim semata? Bukankah orang-orang Hindu, Budha dan Nasrani juga mengakui hal serupa? “Apakah kamu seperti mereka?”, kata KH Ahmad Dahlan menggugah murid-muridnya.[42] Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata.

Beliau juga menyatakan kepada mereka, dan juga kepada kita semua saat ini,  “Bahkan kamu masih terpengaruh kehidupan dunia, masih   memilih kehidupan dunia, belum bisa menghadap kepada Allah SWT, belum memilih Allah, dengan bukti masih cinta kepada harta benda, tidak suka mempergunakan harta benda untuk digunakan di jalan Allah. Kamu tidak menghargai anak yatim, tidak memberi makan kepada fakir miskin, masih membedakan antara orang kaya dan miskin. Apakah hasil dari dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?, apakah pengakuan sucimu?, terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta benda.”[43]

Dengan pernyataan yang menggugah tersebut KH Ahmad dahlan sejatinya mengingatkan kita agar tidak mengalami disorientasi hidup. Kita diminta untuk selalu bermuhasabah tentang tujuan terjauh dari penciptaan dan kehidupan di dunia ini. Kata beliau,”Bagaimanakah akibatnya pada diriku di Hari Akhir? Apa gerangan yang menjadi kesudahan hidup ini di hadapan mahkamah Allah Yang Maha Agung?Apakah diriku akan disiksa karena aku tidak taat mengamalkan perintah-perintahNya?Ataukah aku akan mendapatkan keridlaanNya karena ikhlas beribadah kepadaNya serta sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?.”

Di atas sebuah papan tulis, dekat dengan meja kerjanya, KH ahmad Dahlan menulis dalam bahasa Arab :

يَادَحْلاَنُ، إِنَّ اْلهَوْلَ أَعْظَمُ وَاْلأُمُوْرُ اْلمُفْظِعَاتُ أَمَامَكَ وَلاَبـُدَّلَكَ مِنْ مُشَاهَدَةِ ذَلِكَ إِمَّا بِالنَّجَاةِ وَإِمَّا بِاْلعَطَبِ…يَادَحْلاَنُ، قـَدِّرْ نَفْسَكَ مَعَ اللهِ وَحْدَكَ وَبَيْنَ يَدَيـْكَ ْالَموْتُ وَاْلعَرْضُ وَاْلحِسَابُ وَاْلجَنَّةُ وَالنَّارُ وَتَـأَمَّلْ فِيْـمَايـُدْنِـيْـكَ مِمَّا بَيْنَ يَدَيـْكَ وَدَعْ عَنْكَ مَاسِوَاهُ.[44]

Khatimah

            Demikianlah pokok-pokok penafsiran KH Ahmad Dahlan rahimahullah atas kelompok pertama dari ayat-ayat al-Qur’an yang diriwayatkan oleh murid termuda beliau KRH Hadjid yang telah diterbitkan oleh Lembaga Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Semoga kita termasuk orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam mewarisi dan mengamalkan segala mutiara dan nilai kehidupan yang telah ditauladankan oleh para salafus sholih, al-sabiqun al-awwalun di Persyarikatan Muhammadiyah ini, yang barangkali, semakin hari semakin tidak menarik bagi sebagian di antara kita. Dan semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan kezaliman kita terhadap mereka yang telah mengorbankan segala-galanya di jalan Allah SWT untuk sebuah cita-cita agung dan muliaBaldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ

 وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا ًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ


[1]  KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 2-4

[2] KH Ahmad Dahlan diriwayatkan pula sering menukil perkataan ahli hikmah berikut ini :

الناس كلهم موتىَ إلا العلماء والعلماء متحيِّرون إلاالعاملون والعاملون على وجلٍ إلا المخلصون

[3] Selengkapnya ayat tersebut berbunyi :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

[“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”]

[4] Abdullah Ibn Abdul Muhsin Al-Turki (Isyraf), Al-Tafsir Al-Muyassar (Madinah Munaawarah : Mujamma’ Al-Malik Fahd Lithiba’ati Al-Mushhaf Al-Syarif, 1419), Cet. 1, hal. 501

[5] Al-Maktabah Al-Syamilah

[6] Ibid.

[7] “Jika sesorang mengawali hidupnya di pagi hari maka berkumpullah tiga perkara; hawa nafsu, amal dan ilmunya. Jika amalnya mengikuti hawa nafsu maka itulah hari amat buruk baginya. Adapun jika amal mengikuti ilmunya, maka itulah hari yang sangat baik dan menguntungkannya.”

[8] Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.

[9] Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

[10]  KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 45-47

[11] سنن ابن ماجه    [ جزء 2 –  صفحة 1406 ] 

4204 – حدثنا عبد الله بن سعيد حدثنا أبو خالد الأحمر عن كثير بن زيدس عن ربيح ابن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه عن أبي سعيد قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نتذكر المسيح الدجال . فقال: ( ألا أخبركم بما هو أخوف عليكم عندي من المسيح الدجال ؟ ) قال قلن بلى . فقال ( الشرك الخفي أن يقوم الرجل يصلي فيزين صلاته لما يرى من نظر رجل ). في الزوائد إسناده حسن . وكثير بن زيد وربيح بن عبد الرحمن مختلف فيهما . قال الشيخ الألباني : حسن

[12] مسند أحمد بن حنبل    [ جزء 4 –  صفحة 403 ] 

19622 – حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير ثنا عبد الملك يعنى بن أبي سليمان العزرمي عن أبي علي رجل من بنى كاهل قالخطبنا أبو موسى الأشعري فقال : يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل فقام إليه عبد الله بن حزن وقيس بن المضارب فقالاوالله لتخرجن مما قلت أو لنأتين عمر مأذون لنا أو غير مأذون قال بل أخرج مما قلت خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال أيهاالناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل فقال له من شاء الله ان يقول وكيف نتقيه وهو أخفى من دبيب النمل يا رسول الله قال قولوااللهم انا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلم (تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده ضعيف لجهالة أبي علي الكاهلي).

صحيح الترغيب والترهيب للألباني   [ جزء 1 –  صفحة 9 ]  36 – ( حسن لغيره ) :عن أبي علي رجل من بني كاهل قال :خطبنا أبو موسىالأشعري فقال :يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل فقام إليه عبد الله بن حزن وقيس بن المضارب فقال : والله لتخرجن مماقلت أو لنأتين عمر مأذونا لنا أو غير مأذون فقال : بل أخرج مما قلت خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال :يا أيها الناس اتقواهذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل فقال له من شاء الله أن يقول وكيف نتقيه وهو أخفى من دبيب النمل يا رسول الله قال قولوا اللهم إنا نعوذبك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه رواه أحمد والطبراني ورواته إلى أبي علي محتج بهم في الصحيح وأبو علي وثقه ابنحبان ولم أر أحدا جرحه. (المكتبة الشاملة)

[13] إن أول الناس يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتى به فعرفه نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟ قال قاتلت فيك حتى استشهدت قالكذبت ولكنك قاتلت لأن يقال جريء فقد قيل ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفهنعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟ قال تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن قال كذبت ولكنك تعلمت العلم ليقال عالم وقرأت القرآن ليقال هوقارئ فقد قيل ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار ورجل وسع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كله فأتى به فعرفه نعمه فعرفها قالفما عملت فيها ؟ قال ما تركت من سبيل تحب أن ينفق فيها إلا أنفقت فيها لك قال كذبت ولكنك فعلت ليقال هو جواد فقد قيل ثم أمر به فسحب علىوجهه ثم ألقي في النار

[14] “…Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

[15] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 141-142

[16] وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُفَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.

[17] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 45-47

[18] Ibid…hal. 48

[19] Ibid…hal. 48-51

[20] Imam Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati, Terjemah : Ahmad Sunarto [Jakarta: Pustaka Amani, 1995] Cet. Ke-1, hal.33

[21] Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

[22] Surat Ali Imran : 191

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

[23]  [Surat Al-Fajr : 27-30] يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي

[24] [Al-Baqarah : 9 ] يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

[25] [Al-Qiyamah :2] وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة ِ

[26][Yusuf :53] إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ

[27]       زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِالدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ(آل عمران : 14) فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا(مريم:59)

[28] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf : 53]

[29] “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la : 14-17]

[30] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 52-60

[31] Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(Al-Hadid : 16)

[32] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’a Al-‘Adzim,  IV/311

[33] Ibnu Juraimi, “Optimalisasi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah” dalam, Dakwah Islam Kontemporer; Tantangan dan Harapan (Yogyakarta: MTDK-PPM, 2004) Cet. 1, hal. 204

[34] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2000), Cet. Ke-3, hal. 100

[35] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin … hal. 33

[36] ( أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم يغتسل فيه كل يوم خمسا ما تقول ذلك يبقي من درنه ) . قالوا لا يبقى من درنه شيئا قال ( فذلك مثلالصلوات الخمس يمحو الله بها الخطايا )  HR Bukhari & Muslim

[37] “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Juga firman Allah SWT dalam surat al-Ra’d ayat 28 berikut ini  :

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

[38] “ Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”.Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.”

[39] Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (Bandung : Hikmah, 2006), Cet. VII, hal. 73-75

[40] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 66

[41] Ibid. hal. 67

[42] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 57-58

[43] Ibid, hal. 58-59

[44] “Hai Dahlan, Sungguh bahaya yang menyusahkan itu lebih besar dan perkara-perkara yang mengejutkan ada di hadapanmu, dan pasti kau akan menemui kenyataan yang demikian itu, entah dengan selamat ataupun dengan kebinasaan. Hai Dahlan, bayangkanlah hanya  dirimu sendiri berhadapan dengan Allah, sementara di depanmu ada maut yang menanti, ditampakkan segala urusan, penghitungan atas segala amal, juga ada surga dan ada neraka. Dan renungkanlah apa-apa yang mendekatimu dari sesuatu yang ada di hadapanmu, yaitu maut, dan tinggalkanlah dari dirimu selain itu.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota